Jumat, 14 Desember 2012

Berdakwah Dengan Cara Menginfakkan Hartanya

Kisah Relawan Cilik : Berdakwah Dengan Cara Menginfakkan Hartanya
(kisah relawan cilik, dia berusia 12 tahun)


MENDAFTARKAN DIRI MENJADI RELAWAN
Pada pagi yang cerah, di kota Jeddah, sekitar pertengahan bulan Dzulhijjah 1425H, atau akhir Januari 2005M. Saat itu, saya sedang duduk di kantor Jeddah Da’wah Center (JDC) bersama rekan. Tiba-tiba masuklah seorang anak kecil sambil mengucapkan salam, lalu. menyalami kami berdua. Ia datang ke kantor JDC diantar supirnya yang berasal dari Indonesia, sementara ibu dan neneknya menunggu di mobilnya.

Anak ini masuk ke ruang sekretariat sendiri seraya mengatakan : “Saya ingin menjadi relawan di kantor dakwah ini. Ingin berkhidmat untuk kepentingan agama Islam”.

Saya dibuat kagum dengannya. Saya sambut dengan baik dan saya katakan : “Kira­kira, di bidang apa Anda bisa membantu kami?”

Dia katakan, “Saya mampu menggunakan komputer dan bisa berbahasa lnggris.”

Karena saya tidak bisa berbahasa Inggris; maka saya minta rekan saya untuk berbicara dengannya dengan bahasa Inggris. Setelah terjadi komunikasi antara teman dan anak ini, teman saya pun memberitahu saya : “Bagus sekali anak ini bahasa Inggrisnya”.

Saya katakan, “Saya belum bisa memutuskan apakah Anda bisa diterima atau tidak. Insya Allah akan saya sampaikan kepada direktur yang juga seorang relawan. Beliau sendiri bekerja di kantor Telkom Saudi. Tapi saya optimis, kalau orang seperti Anda akan diterima, insya Allah,” lalu saya minta nomor teleponnya dan saya berikan juga nomor telepon kantor kepadanya. Lalu saya katakan : “Saya sendiri, insya Altah ada acara dakwah untuk jamaah haji Indonesia yang akan pulang ke tanah air. Anda bisa ikut bantu saya dengan membagikan kaset atau buku di air port haji di madinatu( hujjaj (asrama haji) di Jeddah, bagaimana?”

Anak itu menjawab, “Insya Allah. Saya akan minta izin orang tua dulu.”

Sore harinya, orang tua Ahmad (nama anak ini), menelepon ke kantor kami mencari saya dan menanyakan : “Apa betul Anda mengajak anak saya pergi ke air port haji untuk berdakwah?”

Saya katakan, “Betul, kalau dia berminat.”

Orang tuanya mengatakan : “Justru kami sangat senang sekali, jika Anda bisa membawa anak saya ke air port haji untuk ikut membantu dakwah Islam. Saya ingin anak saya ini besarnya kelak bermafaat bagi umat Islam, supaya dia ikut bergembira jika umat Islam bergembira; ikut sedih jika umat Islam sedang mendapatkan bencana dan musibah, serta supaya anak saya tidak membedakan orang menurut suku dan kebangsaannya, karena sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara manusia adalah yang paling bertakwa. Hanya saja, karena anak ini masih kecil, kami tidak pernah membiarkan ia pergi sendiri. Meskipun ke sekolah, selalu kami antar dan kami jemput. Jadi bagaimana sekiranya dari pihak keluarga ikut juga ke air port bersama Anda?”

Saya katakan,”Itu lebih baik..

Akhirnya, kami pun berangkat ke air port haji bersama Ahmad dan keluarganya. Dalam perjalanan ke air port, saya tanya kepada anak ini: “Apa yang memotivasi Anda beramal untuk kepentingan Islam?” Dia menjawab, “Ajru ‘Indallaah” Artinya, aku mengharap ganjaran pahala dari sisi Allah.

Kemudian saya tanya lagi : “Apakah Anda hafal dzikir pagi dan sore hari?”

Dia menjawab,”Saya hafal.”

“Coba saya mau mendengar,” tanya saya lagi.

Lalu dia membaca dzikir pagi dan sore. Banyak sekali yang dia hafal. Sampai kami pulang dari air port.

Pihak kantor pun, setelah diberitahu ada anak kecil yang mendaftar menjadi relawan, menerima dengan senang hati. Dia datang ke kantor tiap hari Jum’at saat sekolah libur.

MUDAH MENERIMA NASIHAT
Yang namanya anak-anak, tentu tidak lepas dari kekeliruan dalam bersikap, dan kita harus memakluminya. Janganlah kita mudah marah kepada anak, karena kita sebagai orang dewasa juga tidak lepas dari kekeliruan. Tinggal bagaimana kita harus memperbaiki kesalahannya dengan cara yang bijaksana.

Suatu hari, pada hari Jum’at, saat kami dan Ahmad berada di kantor, datanglah tamu menemui Ustadz Hamadi al Ashlani, salah seorang pengurus kantor JDC. Tampak perbincangan yang serius di antara mereka berdua. Ahmad yang duduk dekat mereka berdua mendengar mereka berbicara, kemudian ia langsung menyambung dan memotong ucapan mereka. Mungkin dia ingin membuktikan kepada mereka berdua, bahwa ia mengerti topik yang sedang dibicarakan.

Ustadz Hamadi tidak menggubris Ahmad dan tetap berbicara dengan tamunya. Ia tidak marah dan memaklumi, bahwa yang mengganggunya adalah anak-anak. Saya yang berada dekat mereka segera memanggil Ahmad dan mengalihkannya kepada kegiatan lain. Saya minta Ahmad menemani saya ke sebuah toko yang jaraknya kurang lebih 1 kilometer, untuk memberikan buku kepada orang Indonesia yang bekerja di sana. Sebelumnya dia menawarkan agar saya naik mobilnya dan ia pun segera mencari sopir. Saya berkeberatan, karena belum izin orang tuanya. Dia berpendapat tidak apa-apa. Alhamdulillah, ternyata sopir Ahmad sedang mengikuti pengajian yang dibimbing Ustadz Farid bin Muhammad al Bathathi. Akhirnya kami berdua berjalan kaki di bawah terik matahari, pulang pergi menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepadanya : “Pada masa yang akan datang, Anda ingin menjadi apa?” Ahmad menjawab dengan mantap, tanpa ragu-ragu : “Ingin menjadi pedagang”.

Saya sempat menyesal membawa Ahmad berjalan kaki cukup jauh untuk anak seusia dia di bawah terik matahari. Dalam perjalanan pulang ke kantor, ibunya telepon ke hp Ahmad, yang hanya dipegang jika Ahmad ke luar rumah saja. Setelah selesai, saya katakan akan bicara ke ibunya, lalu saya mohon maaf karena membawa Ahmad jalan kaki. Ibunya mengatakan tidak apa-apa. Ahmad adalah seorang olahragawan dan fisiknya kuat, insya Allah.

Pada hari yang lain, saya sedang dalam perjalanan dengan rekan sekantor. Di antara pembicaraan teman saya ini, bahwa pada hari Jum’at yang lalu -saat itu saya tidak berada di kantor- datanglah tamu dari perusahaan komputer menemui pengurus kantor. Saat pengurus kantor dan tamu sedang berbincang-bincang, Ahmad pun memotong dan ikut melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Ada di antara rekan yang masih muda merasa jengkel kepada Ahmad.

Malamnya, segera saya telepon orang tua Ahmad, dan saya beritahu dua kejadian. Yang satu saya saksikan sendiri, dan yang kedua saya dengar dari teman sekantor, bahwa Ahmad suka memotong dan turut campur dalam pembicaraan orang dewasa. Orang tuanya senang dengan laporan ini, dan berjanji akan menasihati Ahmad. Saya juga mengatakan kepadanya akan menasihati Ahmad, tetapi belum bisa secara langsung.

Sayapun menulis surat kepada Ahmad tentang pentingnya saling memberi nasihat sesama muslim. Di antaranya, saya sebutkan temanmu itu adalah yang bersikap jujur dan tulus kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu. Disamping surat tersebut, saya sertakan pula sebuah hadits dalam Shohih Bukhari yang menunjukkan, bahwa memotong pembicaraan orang lain adalah tidak sesuai dengan adab Islam. Orang tuanya juga menasihati Ahmad. Alhamdulillah, setelah itu, terjadi perubahan yang positif. Ahmad tidak suka memotong pembicaraan orang dewasa. Dia tahu kapan ia harus bicara, dan kapan ia harus diam mendengarkan. Saya sendiri perlu mencontohnya, karena terkadang tanpa terasa suka memotong pembicaraan orang lain.

BERDAKWAH DENGAN CARA MENGINFAKKAN HARTANYA
Pada Jum’at yang lain, pengurus kantor menugaskan Ahmad untuk duduk di ruang istikbal (resepsion) menerima tamu atau pembeli yang datang. Kantor JDC menjual buku-buku dan kaset-kaset dalam berbagai bahasa, seperti : bahasa Indonesia, bahasa Tagalog (Philipina), bahasa Urdu (Pakistan), bahasa Tamil dan Sinhali (Srilangka), bahasa Inggris dan lain-lain. Sebelum mulai melaksanakan tugasnya, ia mengeluarkan dari sakunya uang sebesar 5 real Saudi (sekitar dua belas ribu lima ratus rupiah), lalu ia mengatakan kepada kami”: “Ini uang milik saya, saya bawa dari rumah”.

Saya menjawab,”Kami percaya, bahwa Anda adatah orang yang jujur.”

Setelah itu, saya lihat ia mulai menerima uang dari pembeli sebesar 10 real Saudi, dimasukannya ke dalam sakunya dan dicatatnya uang yang masuk tadi. Sampai datanglah seorang pengunjung asal Pakistan. Ia membeli 2 set buku yang berbahasa Inggris seharga 10 real, dan 3 kaset berbahasa Urdu seharga 9 real. Total semuanya 19 real. Sang pengunjung menyodorkan uang 50 real kepada Ahmad. Karena tidak ada kembalian, Ahmad pun membawa uang tersebut kepada sekretaris kantor di ruang lain untuk menukar uang.

Saya lihat buku berbahasa Inggris yang dibeli tertulis “Untuk Non Muslim”, maka saya tanya kepada pengunjung tersebut : “Anda membeli buku bebahasa Inggris ini untuk siapa? Untuk dibaca sendiri atau untuk orang lain?” Saya khawatir ia salah beli.

Dia menjawab,”Saya akan berikan sebagai hadiah untuk teman saya sekantor, ia kafir bukan muslim. Semoga ia mendapatkan hidayah dan masuk Islam!”

Mendengar jawaban tersebut, segera saya bergegas menuju sekretaris kantor. Saya katakan, “Bagaimana pendapatmu, kalau buku yang dibeli oleh tamu kita ini, kita hadiahkan saja, karena buku tersebut akan dihadiahkan kepada teman sekerjanya yang kafir?”

Sekretaris kantor setuju. Ahmad mendengar pembicaraan kami berdua, karena ia sedang menunggu kembalian uang untuk tamunya. Sekretaris kantor mengatakan, jadi total yang ia beli hanya 9 real dan kembalinya 41 real. Tiba-tiba, secara spontan, Ahmad mengeluarkan uang 5 real miliknya dan ia berikan kepada sekretaris sambil berkata: “Saya ikut menyumbang 5 real untuk beli kaset dakwah yang dibeli orang itu. Jadi biar ia membayar cukup 4 real saja”.

Mendengar itu, saya menjadi terharu dan saya katakan, biar saya yang membayar 5 real, Ahmad cukup 4 real saja. Dia bilang,”Ustadz saja yang 4 real, saya yang 5 real,” kemudian saya paksakan ia menerima kembali 1real. Akhirnya, pengunjung tadi mendapatkan buku-buku dan kaset secara gratis, dikembalikanlah uang 50 real. Dia pulang dengan girang.
.
MEMBERIKAN CERAMAH DI DEPAN JAMAAH HAJI INDONESIA
Suatu hari, saya pernah menawarkan kepada Ahmad untuk memberikan ceramah di hadapan jamaah haji Indonesia di madinatu( hujjaj di air port lama, Jeddah. Dia pun menyanggupi: Lalu saya beritahukan materinya tentang ukhuwah Istamiyah, dan saya berikan point-pointnya, yaitu tentang pentingnya ukhuwah, sarana-sarana untuk memperkokoh ukhuwah serta perusak-perusak ukhuwah.

Kira-kira dua pekan kemudian ia bertanya : “Bagaimana Ustadz, kalau saya sampaikan materi ini dengan membaca teks. Saya belum pernah berceramah sebelum ini”.

Saya katakan, “Tidak apa-apa, walaupun kalau bisa tidak dengan teks itu lebih bagus.”

Akhirnya, pada hari yang sudah dijadwalkan, ia dengan diantar kakek dan ibunya berangkat ke madinatul hujjaj untuk berceramah di hadapan jamaah haji Indonesia. Mereka sampai disana sebelum Maghrib. Saya sempat bertanya kepada Ahmad, berapa juz ia hafal al Qur`an. Ia menjawab, 10 juz. Ketika saya sampaikan ke Ahmad, bahwa setelah ia berpidato ada acara tanya jawab. Semula Ahmad berkeberatan dengan mengatakan:”Saya tidak mempunyai wewenang untuk berfatwa”. Saya tersenyum dan menjelaskan, bahwa pertanyaannya bukan tentang masalah hukum, tetapi yang sifatnya ta’aruf untuk mengenal tebih dekat lagi.

Saya sampaikan pada pembukaan kepada jamaah haji, bahwa hari ini kita kedatangan tamu; seorang anak kecil. Saya ceritakan, bahwa perkenalan saya dengannya baru satu bulan ketika dia datang ke kantor Jeddah Da’wah Center mendaftarkan diri untuk menjadi relawan di sana. Saya ceritakan tentang perhatiannya terhadap hafalan al Qur`an, doa-doa dan dzikir, kepandaiannya dalam bidang komputer dan bahasa Inggris, serta aktifitasnya yang padat dengan kegiatan olah raga, kursus-kursus komputer dan bahasa Inggris. Setelah itu Ahmad berceramah dalam bahasa Arab dengan membaca teks dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Ahmad berpidato dengan suara yang lantang. Ia kemukakan, bahwa ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) lebih kuat dari pada ikatan nasab (keturunan). Kemudian ia pun menceritakan sarana-sarana yang dapat memperkuat ukhuwah Istamiyah, seperti : menyebarkan salam, saling mengunjungi, saling memberi hadiah, bertutur kata dengan baik dan santun. Kemudian, ia juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ukhuwah, seperti : ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), menyebar luaskan rahasia.

Di antara jamaah haji ada yang bertanya dengan bahasa Inggris. Ahmad menjawab pertanyaan dengan lancar. Jamaah haji itu bertanya, “Mungkin Anda pernah tinggal di Eropa atau Amerika, atau lahir di sana barangkali?” Ahmad menjawab,”Tidak! Saya lahir di Saudi Arabia, dan tidak pernah pergi ke luar negeri.” Jamaah haji bertanya,”Sejak kapan Anda belajar bahasa Inggris?” Ahmad menjawab,”Saya belajar bahasa Inggris sejak umur 5 tahun.” Ahmad juga sempat ditanya jumlah saudaranya. Dia menyebutkan dua bersaudara, ia dan adiknya, Laila yang masih duduk di kelas 4 SD. Setelah selesai, maka para jamaah haji laki-taki menghampiri Ahmad dan kakeknya dan menyalaminya. Saya lihat ada di antara mereka yang menangis terharu.

AHMAD DAN BENCANA TSUNAMI
Ahmad memiliki hati yang lembut dan perhatian untuk mengetahui keadaan kaum Muslimin di belahan dunia. Ketika terjadi bencana Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004M, ia pun membaca berita ­berita tentang para korban dari koran, karena di rumahnya tidak ada televisi. Ia tidak menghabiskan waktunya untuk membaca berita dan informasi, tapi sekedar tahu secara global. Di antara perbincangan saya dengan Ahmad pada hari Jum’at adalah tentang bencana Tsunami. Dia sangat interes untuk mendengar berita dari saya, dan juga bersemangat menceritakan informasi yang dia dapat.

Tidak lama sesudah bencana Tsunami, seorang ibu yang tidak kami kenal menelpon ke kantor Islamic Center di Jeddah, meminta agar dai yang berasal dari Indonesia memberikan nasihat dalam bentuk kaset untuk kaum Muslimin di Aceh dan Sumatera Utara, agar mereka bersabar, ridha dengan ketentuan Allah, selalu bersangka baik kepada Allah, dan mengambil hikmah dari segala ujian serta cobaan yang berat ini. Alhamdulillah, akhirnya usulan ibu tersebut tertaksana, dan setelah itu, timbul ide baru agar isi nasihat itu dibukukan.

Saat penyusunan buku tersebut yang diberi judul Hikmah Di Balik Musibah, saya mendapat sedikit kesulitan dalam penutisan hadits-hadits Nabi. Saat itu kantor belum punya CD hadits, sedangkan untuk mengetik satu per satu teks hadits bisa membutuhkan waktu yang agak panjang, karena saya belum lancar menulis dengan huruf Arab di komputer. Akhirnya saya ingat Ahmad, dan segera menelepon keluarganya untuk minta izin agar Ahmad menyempatkan waktunya untuk membantu saya mengetik hadits­ hadits Nabi berkenaan dengan musibah. Saya pun memberitahu hadits-hadits yang perlu diketik. Ahmad mengetik hadits-hadits permintaan saya itu di rumahnya, sebab di kantor sendiri pekerjaan yang ia tangani cukup banyak. Dia diberi tugas oleh pengurus kantor untuk mengetik urusan administrasi, sehingga praktis di kantor ia tidak punya waktu untuk mengetik hadits-hadits yang saya minta itu. Karena di rumahnya juga banyak kegiatan seperti belajar, ia juga aktif berolah raga seperti berenang; menunggang kuda dan bela diri, maka Ahmad akhirnya minta bantuan adiknya, Laila, yang masih duduk di kelas 4 SD untuk membantunya. Sang ibu mengawasinya dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. Jika ada hal yang keliru atau salah, baru dibenarkan. Sepekan kemudian, ketika ke kantor, ia menyerahkan hasil pekerjaannya dan mengatakan : “Ustadz, saya mengetiknya sekian halaman, dan adik saya sekian halaman”.

Ahmad juga ikut menyumbang 100 real (sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah) dari uang tabungannya untuk korban bencana Tsunami yang akan saya sebutkan saat perpisahan.

BERGAUL DENGAN ORANG­-ORANG YANG BAIK
Orang tua Ahmad mengarahkan dan memotivasi anaknya agar menjadi relawan di kantor Islamic Center, di antara tujuannya agar anaknya bergaul dengan orang-orang yang baik dan bisa mencontoh mereka dan terhindar dari pergaulan yang ti.dak baik.

Suatu hari saya telepon orang tuanya. Saya beritahukan ada seorang dai yang usianya 70 tahun dari Jenewa, Swiss datang ke Mekkah untuk umroh dan silaturahmi mengunjungi adik-­adiknya di Mekkah dan Jeddah. Saya katakan, sekarang masih berada di Mekkah dan saya ada janji untuk bertemu dengannya. Saya tawarkan, jika ayah Ahmad ada waktu, kita bisa bertemu di Mekkah. Orang tuanya senang dengan rencana ini, tetapi belum bisa memastikan apakah dapat berangkat atau tidak.

Kemudian, saya juga teringat Ahmad, mungkin ia tidak berminat pergi ke Mekkah untuk menemui orang tua dan mendengarkan nasihatnya. Saya katakan kepada orangtuanya, tolong tanyakan dulu kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak pergi ke Mekkah bersama kami. Orang tuanya mengatakan : “Saya rasa kita tidak perlu menanyakan kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak, karena mengunjungi orang yang shalih adalah suatu kebaikan, dan tugas kami sebagai orang tua adalah menumbuhkan minat anak”.

PERPISAHAN
Tibalah saat saya pulang ke Indonesia pada pertengahan bulan Safar 1426H, atau akhir Maret 2005M. Saya izin kepada Ummu Ahmad untuk mengajak Ahmad dan sopirnya al akh Musthafa makan siang di rumah makan.

Mendengar permintaan saya, Ummu Ahmad mengatakan : “Seharusnya kami yang mengundang Anda makan di rumah, karena anda adatah tamu. Tetapi karena suami saya sedang keluar kota, maka Ahmadlah yang akan mentraktir Anda makan di rumah makan”. Mulanya saya menolak, karena yang punya ide adalah saya, maka saya yang berhak untuk membayar. Beliau tetap memaksa, maka akhirnya saya mengalah. Sekitar jam empat sore sepulang saya dari masjid, saya dapatkan Ahmad dan Musthafa sudah menunggu di depan kantor tempat saya tinggal di sana selama dua bulan di Jeddah.

Sebelum berangkat ke rumah makan, Ahmad menyerahkan surat dari orang tuanya untuk saya baca, dan saya diminta untuk memberi masukan dan komentar. Surat itu dari orang tua Ahmad untuk pihak sekolah tempat Ahmad belajar.

Sebelumnya, pihak sekolah telah melontarkan surat kepada orang tua Ahmad, meminta izin bahwa dalam liburan musim panas, pihak sekolah akan merencanakan study tour ke Malaysia membawa 20 siswa yang berbakat, salah satu di antaranya adalah Ahmad. Ada dua tujuan pokok, yaitu untuk mengunjungi universitas­ universitas di Malaysia guna mengetahui sistem pendidikannya, dan yang kedua . untuk melihat kemegahan bangunan dan arsitektur di Malaysia.

Orang tua Ahmad tidak setuju dan menulis surat balasan kepada sekolah. Saya baca surat tersebut. Orang tuanya menyebutkan alasan tidak mengizinkan Ahmad, bahwa tujuan tersebut tidak begitu penting, karena anaknya masih duduk di bangku SD, sehingga kurang bermanfaat bagi anak SD untuk mengetahui sistem pendidikan di universitas. Kalaupun dianggap penting, bisa dengan mendatangi pameran­ pameran yang diadakan di Jeddah, misalnya. Begitu pula melihat kemegahan arsitektur dan bangunan tidak begitu penting, malah bisa berdampak negatif, yaitu anak-anak dapat tertipu dengan penampilan lahiriah, bangga dengan bangunan yang megah dan lupa dengan yang lebih pokok, yaitu masalah pentingnya membenahi hati, aqidah, ibadah dan akhlak.

Dalam surat itu disebutkan pula, jika pihak sekolah mempunyai program membawa siswa ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana, seperti ke Aceh, misalnya, untuk membantu para korban bencana, kami dengan senang hati akan mengizinkan anak kami untuk ikut berangkat. Lebih-lebih lagi kita tahu bersama, bahwa para missionaris Kristen banyak mengirim relawannya pergi ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana. Mereka melancarkan misinya dengan payung memberikan bantuan kemanusiaan.

Selesai membaca surat tersebut, saya beranggapan bahwa Ahmad tentu kecewa dengan keputusan orang tuanya ini. Segera saya ingin menghiburnya. Saya pancing Ahmad dengan pertanyaan : “Apakah Anda kecewa tidak berangkat ke Malaysia?” Ahmad menjawab dengan mantap : “Saya tidak kecewa”. Saya tanya,”Mengapa tidak kecewa? Padahal teman-teman Anda berangkat ke sana.” Kemudian Ahmad menjelaskan kepada saya, persis seperti isi surat orang tuanya untuk pihak sekolah.

Tidak terasa hari semakin sore, sedangkan kami belum makan siang. Ahmad mengatakan kepada saya : “Ustadz bisa pilih, ingin makan di rumah makan mana? Tidak mesti yang dekat, yang jauh juga boleh”. Saya katakan kepadanya, yang dekat saja di rumah makan at Tazaj. Berangkatlah kami bertiga ke rumah makan yang jaraknya dari kantor kurang lebih 1 kilometer. Setelah kami pesan makanan, saya tanya kepada Ahmad, pilih minum Pepsi Cola, Seven Up atau apa? Dia menjawab,”Saya pilih air putih saja.” Musthafa mengatakan, bahwa Ahmad memang sejak kecil tidak minum minuman seperti itu.

Selama kami makan, kami berbicara. Saya lupa apa saja yang kami bicarakan saat itu. Yang saya ingat, saya sempat bertanya kepadanya:”Apakah Anda sudah membaca surat yang saya tulis di Masjidil Haram di Mekkah untuk Anda?” Ahmad menjawab,”Belum, karena semalam saya kecapaian sehingga langsung tidur.”

Setetah kami selesai makan, ada di antara pelayan restoran yang berasal dari Philipina memberikan hadiah berupa selebaran berwarna-warni untuk anak-anak, dan diberikannya kepada Ahmad. Semula Ahmad tidak ingin mengambilnya, bisa jadi karena ia merasa bukan anak-anak lagi. Saya segera minta kepadaAhmad untuk menerimanya. Setelah kami sampai di mobil, saya katakan, kita berusaha untuk menjaga perasaan orang lain, jika Anda terima, berarti Anda menggembirakan dia. Dan jika Anda tolak, bisa membuat dia sedih atau kecewa.

Dalam perjalanan ke kantor, Ahmad mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang sebesar 100 real, lalu dia berikan kepada saya seraya berkata : “Ustadz akan pulang ke Indonesia, ini saya titip uang 100 real dari tabungan saya untuk korban bencana alam Tsunami di Aceh.” Terharu saya mendengar ucapannya yang tulus keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Sebenarnya saya tidak ingin menerima amanat ini. Tetapi karena saya juga tidak ingin mengecewakan Ahmad yang ingin berpartisipasi ikut andil menyumbang, akhirnya amanat tersebut saya terima, dan saya katakan : “Insya Allah saya akan sampaikan amanat ini kepada orang yang berhak menerimanya”.

Dia juga menawarkan diri untuk mengantar saya sampai air port. Saya katakan, bahwa saya sudah janji dengan Ustadz Farid al Bathathi, beliau yang akan mengantarkan saya ke air port. “Yang kedua, saya tahu bahwa jadwal Anda sangat padat. Saya tidak mau mengganggu kegiatan Anda”.

Tibalah saat perpisahan. Saya tidak tahu, apakah dapat berjumpa kembali dengannya atau tidak. Yang jelas banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Ahmad dan keluarganya.

Semoga Allah memberikan taufik kepada Ahmad dan anak-­anak kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam ketaatan, dan memberikan taufik kepada kedua orang tua Ahmad dan semua orang tua Muslimin untuk dapat mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak yang shalih.

Rabbana laatuzikhquluubanaa ba’da idzhadaitanaa wahablanaa milladunkarahmah innaka antalwahhab.

Banyak sekali pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah Ahmad. Insya Allah penulis akan membahasnya dalam sebuah buku tersendiri.

Aku Datang Maisya

Aku Datang Maisya

Aku telah dilanda keinginan mengebu untuk menikah. Bahkan sudah kujalani semua cara agar cepat bisa melaksanakan sunah Rasul yang satu ini. Malah aku selalu mengimpikannya di tiap malam menjelang tidur.

Gadis yang kuidamkan sejak kecil, bahkan menjadi teman main bersama, ternyata dinikahi orang lain. Padahal dia sudah ngaji. Sedih juga rasanya. Ada juga yang aku dapatkan dari orang yang aku kenal baik, dan sudah kujalani “prosedurnya”. Tapi ternyata kandas karena aku dinilai masih terlalu muda untuk menikah.

Akhirnya , aku kenal dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria. Aku mengenalnya dengan perantaraan teman dekatku. Jujur saja, aku telah mendapat biodatanya, juga gambaran wajahnya. Langsung saja kukatakan pada teman dekatku bahwa aku sangat-sangat setuju.

“Eh, ente (kamu) harus ketemu dulu dan tahu dengan baik siapa dia,” kata temanku.

Tapi kujawab enteng, “Tapi ane (aku) langsung sreg kok”.

“Ya sudah, terserah ente aja lah,” sahut temanku sambil geleng-geleng kepala.

Karena aku yakin pacaran jelas-jelas dilarang dalam Islam sebab hal itu adalah jalan menuju zina, aku pun tak menjalaninya. Jangankan zina, hal-hal yang akan mengarahkan kepadanya saja sudah dilarang. Oleh karena itu, aku hanya menunggu waktu kapan ada pembicaraan awal antara aku dan Maisya (akhwat incaranku itu). Sabar deh, sementara ikuti saja seperti air mengalir.

Lewat kurang lebih 2-3 minggu mulailah terjadi pembicaraan antar aku dan Maisya. Ketika kuberanikan diri memulai pada poin yang penting yaitu mengungkapkan niatku untuk menikahinya, apa jawabnya? Aku disuruh menghadap murabbinya (guru/pembimbing).

“Kenapa tidak ke orang tua Maisya saja?” tanyaku.

“Tidak, pokoknya akhi (saudara lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi saya.” jawabnya.

Aku baru tahu, ada seorang akhwat ketika ada yang ingin menikahinya disuruh menghadap Murabbinya, bukan orang tuanya. Padahal, di antara birrul walidain adalah menjadikan orang tua sebagai orang yang pertama kali diajak diskusi tentang pernikahan, bukan gurunya, ustadznya, atau siapa pun. Barulah kutahu itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat tarbiyah (pergerakan).

***

Aku catat alamat murabbi (MR) yang Maisya sebutkan. Pada hari Ahad kuajak 2 teman dekatku untuk menemani ke rumah sang MR. Dengan sedikit kesasar akhirnya sampailah kami di rumahnya. Tapi setelah pencet tombol tiga kali dan “Assalamu’alaikum” tiga kali tak dibuka, kami pun pulang dengan agak kecewa, sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari sangat terik menyengat.

Kutelepon Maisya bahwa aku tak bisa ketemu MR-nya. Maisya membolehkanku hanya dengan menelepon MR. Malam itu juga aku pun menelepon dan alhamdulillah nyambung. Aku ditanya segala macam yang berkaitan dengan agama. Dari masalah belajar, kerja, ngaji, tarbiyah, murabbi-ku, ustadz yang sering kuikuti kajiannya, sampai buku-buku yang sering kubaca. Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya.

Dengan polos dan santai kujawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang membuatku heran, ketika kusebutkan nama ustadz-ustadz yang sering kuikuti kajiannya sampai, nada MR agak beda dari awal pembicaraan. Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang sering kujadikan rujukan dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa bisa begitu.

Kuceritakan pembicaraan itu pada teman dekatku. Ternyata temanku menjawab dengan nada menyesal.

“Aduh, kenapa tidak bicarakan dulu denganku. Ente tahu? Kalau akan menikahi akhwat tarbiyah sedang ente tidak ikut dalam tarbiyah atau liqa’ tertentu dan punya MR, maka ente otomais akan ditolak. Apalagi ente sebutkan nama-nama ustadz, buku-buku dan para syeikh Timur Tengah, bakalan ditolak deh, itu sudah ma’ruf (populer).”

“Lho kan ane jawab jujur, saat ini ane tidak ikut tarbiyah, atau apa namanya tadi, liqa’? Ya memang aku tak ikut. Ane juga nggak punya MR dong. Oo.., jadi begitu ya?” aku hanya melongo.

***

Beberapa hari kemudian, aku dapat telpon dari Maisya yang menjadikan hatiku sedikit hancur.

“Assalamu’alaikum, akhi saya sudah mempertimbangkan semuanya, mungkin Allah belum menakdirkan kita berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik untuk pasangan kita, saya minta maaf, kalau ada kesalahan selama ini, Assalamu’alaikum,”

“Kletuk, nuut nuut nuut” terdengar suara gagang telpon ditutup dan nada sambung terputus.

Aku masih memegang gagang telepon dan hanya bisa melongo mendapat jawaban tersebut. Kutaruh gagang telpon dengan lunglai. “Astagfirullah,” kusebut kata-kata itu berulang kali. Apa yang harus kuperbuat? Tak tahu harus bagaimana. Tapi sohib dekatku yang dari tadi memperhatikanku waktu menelepon nyeletuk .

“Ditolak ya? Udah deh, kan masih banyak harem (wanita) lain, ngapain ngejar-ngejar ngapain ngejar-ngejar yang sudah jelas-jelas nolak.”

Aku jawab saja dengan ketus, “Ane belum nyerah, karena ada janggal dalam pemolakan it, ane belum yakin dia menolak, akan ane coba lagi”.

“Udah deh jangan terlalu PD,” sahut sohibku.

Ternyata bener juga kata temanku itu, jawaban-jawabanku kepada MR menyebabkan aku ditolak oleh Maisya. Aku dipandang beda manhaj dalam memahami Islam, padahal yang kusebutkan waktu menjawab pertanyaan tentang buku-buku rujukan adalah Fathul Majiid, Al-Ushul Al-Tsalatsah, dan kitab-kitab karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad Shalih Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka selalu mendasarkan bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.

Hatiku sudah terlanjur cocok sama Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg sekali kalau Maisya jadi pendamping hidupku. Tapi aku ditolak. “Apa yang harus kuperbuat?” kataku dalam hati. Menyerah kemudian mencari yang lain? Baru begitu saja kok nyerah.

Tanpa sepengetahuan sohibku, kutulis surat ke orangtua Maisya. Yang kutahu bahwa dia hanya punya ibu. Bapaknya sudah meninggal saat Maisya berumur 8 tahun. Kutulis surat yang isinya kurang lebih tentang proses penolakan itu. Juga janjiku jika ditolak oleh ibunya, maka aku akan menerima dan tak akan menghubunginya lagi.

Dengan penuh harap kukirim surat tersebut, tak disangka ternyata surat itu sampai di tangan Maisya dan dibacanya. Alamak, kenapa bisa begitu? Untuk beberapa hari tidak ada respon. Gundah gulana pun datang. Apa yang harus kulakukan?

Kuputuskan untuk mengirim surat ke Maisya langsung. Semuanya aku ungkapkan dengan bahasa setengah resmi tapi santai. Aku memang sedikit ndableg. Di penghujung surat tersebut kukatakan, “Kalau memang Allah takdirkan kita tidak jodoh, saya punya satu permintaan, tolonglah saya untuk mendapatkan pendamping dari teman-teman Maisya yang Maisya pandang pas untuk saya, minimal yang seperti Maisya.”

Kupikir Maisya akan “tersungkur” dengan membaca suratku yang panjang lebar. Aku berpikir seandainya ada orang membaca suratku, pasti akan mengatakan “rayuan gombal!”. Tapi jujur saja, itu berangkat dari hatiku yang paling dalam.

Surat kedua itu, qadarallah ternyata malah diterima dan dibaca oleh ibu Maisya dan kakak perempuannya. Nah, dari situkah terjadi kontak antara aku dan keluarganya. Tak disangka-sangka kudapat telpon dari kakak perempuan Maisya, Kak Dahlia (tentu saja bukan nama asli). Kak Dahlia menelepon dan memintaku untuk datang ke rumahnya guna klarifikasi surat tersebut.

***

Seminggu kemudian kupeniuhi undangan itu. Setelah bertemu dan “sesi tanya-jawab” , dengan manggut-manggut akhirnya Kak Dahlia angkat bicara,

“Baiklah, kakak sudah dengar cerita kamu, saya heran kenapa Maisya menolakmu, ya? Padahal menurut hemat kakak, kamu pantas diterima kok”.

Hatiku berbunga-bunga mendengarnya,. Tapi langsung surut lagi karena pernyataan itu datang dari Kak Dahlia bukan Maisya. Aku sedikit senyum kecut menanggapi omongan kak Dahlia.

“Begini aja deh, kamu sekarang pulang dulu. Biar nanti kakak dan Umi yang akan rayu Maisya. Pokoknya kamu banyak doa aja. Pada dasarnya kami setuju kok sama kamu.”

Aku izin pulang dengan sedikit riang gembira. Mulutku hanya bergumam penuh doa, semoga Allah mengabulkan cita-citaku. Kira-kira 2 minggu setelah itu kudapat telpon lagi dari Kak Dahlia agar aku ke rumahnya. Dia bilang aku harus bertemu langsung dengan Maisya. Hatiku pun berdebar. Dengan sedikit gagap aku iyakan undangan itu. “Besok deh Kak, insyaAllah saya datang,” jawabku.

Aku duduk di kursi ruang tamu yang sama untuk kedua kalinya. Sedikit basa-basi Kak Dahlia mengajakku ngobrol tentang hal-hal yang belum ditanyakan pada pertemuan sebelumya. Kurang lebih 10-15 menit Kak Dahlia memanggil Maisya agar ke ruang tamu menemuiku. Dadaku berdegub. Inilah saatnya aku nadhar (melihat) bagaimana rupa Maisya yang sebenarnya. Apa sama seperti yang kubayangkan sebelumnya? Jangan-jangan tidak sama. Lebih jelek atau bahkan lebih cakep dari aslinya. Tunggu saja deh.

Tidak lama kemudian keluarlah sosok makhluk Allah yang bernama Maisya. Aku tetap menjaga pandanganku. Tapi jujur saja, tak kuasa kucuri pandang untuk yang pertama kalinya. Bahkan seharusnya untuk acara nadhar biasanya lebih dari mencuri pandang, karena memang dianjurkan oleh Rasulullah. Tapi bagiku sangat cukup melihatnya sekali-kali. Aku hanya bisa mengatakan dalam hatiku tentang Maisya, subhanallah! Aku tak bisa ceritakan kepada pembaca karena itu hanya untukku saja.

Tak sadar keringat dingin mengalir dari pelipis. Ada apa gerangan? Kenapa rasanya agak grogi? Ah, aku harus teguh dan tangguh hadapi semua ini. Obrolan pun mulai bergulir. Dari mulai pertanyaan-pertanyaan agama secara umum sampai diskusi tentang kerumahtanggaan. Kurang lebih satu jam aku di rumah itu. Aku pun pamit sambil memberikan hadiah-hadiah buku-buku kecil tentang agama.

Di bus kota aku senyum-senyum sendirian. Seakan-akan bus itu adalah bus patas AC padahal sebenarnya hanya bus ekonomi yang panas dan penuh asap rokok. Tapi semua itu tidak kurasakan. Kuberdoa semoga rayuan Kak Dahlia berhasil.

Ternyata benar, beberapa hari kemudian aku ditelepon Maisya, kali ini menanyakan kelanjutan proses kami kemarin. Kujawab jika dibolehkan akan kuajak keluargaku di waktu yang kutentukan. Di penghujung pembicaraan, Maisya setuju dengan tawaranku.

Kutanya ke sana ke mari tentang barang-barang apa yang pantas dibawa ketika meng-khitbah seorang wanita. Kubeli sebuah koper kecil dan kuisi dengan barang-barang seperti bahan pakaian, komestik, sepatu, dan sebagainya. Tak lupa aku bawakan buah-buahan seadanya. Hal ini sebenarnya sudah kutanyakan kepada Maisya, tapi Maisya hanya menjawab terserah aku mau bawa apa saja pasti dia akan terima. Duh…, senangnya.

Sebelumnya aku lupa, ternyata Maisya masih punya darah Arab dari ibunya. Bahkan, ibunya punya nasab Arab yang dikenal di Indonesia sebagai Habib (Orang Arab yang mengaku punya garis nasab langsung dengan Rasulullah). Padahal setahuku Rasulullah tak punya keturunan laki-laki yang kemudian punya anak. Yang ada hanya Fatimah yang diperistri oleh Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dalam Islam, darah nasab hanya sah dari garis bapak atau lelaki (Koreksi: Cucu beliau dari anak-anak beliau merupakan termasuk keluarga beliau yang berarti ahlul bait). Jadi, mungkin yang dimaksud mereka adalah keturunan dari Ali bin Abi Thalib.

Satu hal yang perlu diketahui, bahwa dalam adat orang Arab terutama golongan Habaib atau Habib, wanita mereka pantang dinikahi oleh non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Alasan yang populer adalah mereka merasa lebih mulia dari keturunan non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Aku pun harus siap dengan apa yang akan aku hadapi nanti. Bisa jadi ditolak atau tidak. Dan yang ada di depan mataku adalah ditolak.

Aku datang sekeluarga dengan naik Taksi. Aku tidak punya mobil. Dari mana aku punya mobil sedangkan aku baru bekerja setahun? Sambutan hambar kudapatkan ketika memasuki ruang tamu. Di situ sudah hadir ibu-ibu yang merupakan keluarga besar dari ibu Maisya. Anehnya,di acara itu tidak hadir laki-laki dari pihak keluarga besar Maisya.

Kemudian acara dilanjutkan dengan saling memberi sambutan. Namun yang kutunggu hanya momen di mana Maisya menerima lamaranku dari mulutnya sendiri. Saat itu pun tiba. Dengan agak malu-malu dan terbata-bata Maisya menerima lamaranku.

Diakhir acara ketika hari penentuan hari “H” dan bentuk acaranya. Ada salah satu dari anggota keluarga Maisya yang menanyakan uang untuk walimah nanti. Aku hanya menjawab bahwa hal itu sudah kubicarakan dengan Maisya. Tapi dia memaksaku untuk menyebutkan jumlahnya. Aku tetap tak mau menyebutkan. Rupanya orang tadi kecewa berat dengan jawabanku.

Setelah acara selesai, aku pamit. Sedikit lega kulalui detik-detik mendebarkan. Aku bersyukur kepada Allah yang meloloskan diriku pada babak berikutnya dalam usaha mengamalkan sunah Rasulullah yang mulia ini.

Ternyata ujian belum selesai juga. Maisya didatangi keluarga besarnya dengan membawa lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Lamaranku ditimpa oleh lamaran orang lain. Orang yang akan dijodohkan dengan Maisya masih punya hubungan keluarga. Mereka datang dengan mobil, membawa makanan banyak sekali, uang lamaran, dan juga perhiasan.

Apa yang kubawa kemarin tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dibawa pelamar kedua ini. Tapi subhanallah, apa yang Maisya lakukan? Maisya tak mau menemuinya. Maisya tak menerima lamarannya.

Bahkan setelah rombongan itu pulang dan meninggalkan bawaan mereka sebagai lamaran untuk Maisya, apa yang Maisya lakukan? “Kembalikan semua barang bawaannya dan jangan ada yang menyentuh walau untuk mencicipi makanan, kembalikan dan jangan ada yang tersisa di rumah ini.” Aku dapatkan cerita ini dari kak Dahlia yang meneleponku.

Mendengar semua ini, tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Padahal aku adalah lelaki yang selama ini selalu berpantang untuk menangis. Saat itulah aku mulai yakin bahwa Maisya harus kudapatkan, sekali pun harus menghadapi hal-hal yang menyakiti hatiku.

***

Beberapa hari kemudian aku mendapat telepon dari seorang ibu yang mengaku bibi Maisya. Ketika kutanya namanya dia tak mau menyebutkan. Malah dia nyerocos panjang lebar tentang acara lamaranku kepada Maisya. Dengan nada sinis dan tinggi dia mulai merayuku untuk membatalkan lamaranku. “Saya kasih tau ya! Kamu kan baru bekerja belum satu tahun, belum punya rumah dan mobil. Sedangkan Juli Jajuli (bukan nama asli) kan sudah punya kerjaan, rumah besar, mobil ada dua. Jadi, kamu batalkan lamaran. Biar Maisya menerima lamaran Jajuli. Kamu kan bisa cari yang lain.”

Hhh! Betapa mendidih mendengar ocehan sinis itu. Tapi aku langsung kontrol diri. Aku jawab dengan suara pelan dan sopan bahwa aku akan terima hal itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapa pun. Sebelum kudengar langsung dari mulut Maisya, aku tak akan pernah membatalkan lamaranku. Gubrakkkk!, terdengar suara gagang telepon dibanting, padahal jawabanku belum selesai.

Suatu hari di tengah kesibukanku, datanglah seorang wanita sekitar umur 25-30 tahun ke kantorku. Tanpa permisi dan sopan santun dia menghampiriku, “Kamu yang melamar Maisya? Kamu tuh ga tahu diri ya? Belum jadi menantu saja sudah belagu,” cerocosnya.

“Mohon tenang dulu, apa masalahnya? Ayo kita duduk dulu di sini jelaskan dengan pelan,” sambutku dengan sabar.

“Kamu tuh kalo ngasih alamat yang jelas, biar mudah dicari, saya sudah muter-muter mencari alamatmu tapi ternyata tidak ketemu-ketemu, apa kamu mau mempermainkan kami?” tukasnya sambil menunjukkan kartu namaku.

“Apa tadi ente tidak tanya sama orang-orang?” tanyaku.

“Tidak!” jawabnya ketus.

“Ya jelas pasti kesasar, seharusnya ente tanya-tanya dong,” sahutku.

“Aaah udah deh jangan banyak alasan,” jawabnya. “Eh aku kasih tau ya, kau tuh jangan pernah macam-macam dengan keturunan Nabi, kuwalat loh!”, ancamnya.

Dengan sedikit senyum kujawab ancamannnya, “Kalo Nabi punya keturunan seperti ente, pasti Nabi akan sangat marah pada ente. Wanita kok pakai celana jeans, kaos ketat, dan tidak berjilbab. Nabi tentu akan malu jika punya keturunan seperti ente.” Wanita itu kabur sambil ngomel-ngomel entah apa yang dia katakan.

Kejadian itu membuat hatuku semakin was-was dan khawatir. Kalau demikian dengkinya mereka dengan pernikahanku bersama Maisya, maka bisa jadi mereka akan lebih jauh lagi dalam memberikan “teror”. Akankah mereka menghalangiku sampai pelaksanaan hari “H”? Wallahu a’lam.

Yang jelas sebelum aku tanda tangan surat nikah yang disediakan penghulu, maka aku belum bisa menentukan bahwa Allah takdirkan aku menikahi Maisya. Semuanya bisa terjadi. Sabarkanlah diriku ya Allah.

Dari telepon pula aku tahu bahwa Maisya sempat disidang oleh keluarga besarnya untuk membatalkan pernikahan denganku. Tapi dia lebih memilih akan kabur dari rumah dan tetap menikah denganku. Padahal keluarganya memberi pilihan: batal nikah atau putus hubungan keluarga.

***

Undangan mulai kucetak. Sederhana sekali karena aku memang tidak punya biaya banyak untuk pernikahan ini. Aku tidak punya saudara di kota tempat Maisya tinggal. Jadi undangan yang banyak hanya untuk keluarga, tetangga, dan kenalan Maisya.

Hari H semakin dekat. Persiapan juga semakin matang. Aku terharu lagi ketika ditanya, “Akhi siapnya ngasih berapa untuk persiapan ini? Tapi jangan merasa berat dan terpaksa, kalau tidak ada ya nggak apa-apa.” Aku hanya bisa tergagap menjawabnya. Ku katakan bahwa aku akan mendapat sumbangan dari kantorku tapi perlu proses untuk cair, jadi sementara aku hanya bisa beri sedikit. Itu pun sudah kupaksakan pinjam ke sana-sini. Tapi Maisya menyambut hal itu dengan tanpa cemberut sedikitpun. Subhanallah.

Panitia pernikahan dari ikhwan sudah aku siapkan. Aku bertekad bahwa pernikahan ini harus seislami mungkin, di antaranya memisahkan antara tamu pria dan wanita walau mungkin akan mendapatkan respon yang bermacam-macam. Aku tak peduli.

Keluarga Maisya pun tak tinggal diam. Di antara mereka ada yang memintaku agar busana Maisya pada saat penikahan nanti adalah busana pengantin pada umumnya. Astaghfirullah, usulan yang sangat berlumuran dosa. Jelas kutolak mentah-mentah.

Ada juga yang nyeletuk agar pernikahan kami dihibur dengan orkes atau musik gambus dan yang sejenisnya. Tapi itu pun aku tolak. Ternyata sampai mendekati hari H pun aku harus beradu urat syaraf dengan mereka.

Tibalah saatnya kegelisahanku yang paling dalam. Aku sedang berpikir bagaimana jadinya jika ada yang mengacaukan pernikahanku. Aku punya seorang saudara marinir. Aku telepon dia dan kuwajibkan datang. Kalau perlu pakai seragam resmi lengkap. Aku akan jadikan dia sebagai pengamanan tambahan. Karena pengamanan Allah lebih kuat, bahkan tidak perlu ada pengamanan tambahan. Itu hanya ikhtiar saja. Malam hari “H” dia datang dan siap menghadiri acara nikah besoknya.

Aku minta bantuan teman lamaku untuk mengantarku pakai Kijang. Teman senior kantorku yang sudah aku anggap orang tuaku juga siap mengantar pakai Panther, bahkan dialah yang akan memberi sambutan dari pihak mempelai pria.

Dengan sedikit gemetar dan mata sedikit basah, aku lalui proses ijab kabul yang sederhana tanpa disertai ritual-ritual yang tidak ada dasarnya seperti sungkem, injak telor, membasuh kaki, dan sebagainya.

Tangisku meledak ketika berdua dengan Maisya untuk pertama kalinya. Tangis makin dahsyat saat aku menghadap ibuku. Kupeluk erat-erat ibuku, kakakku, dan saudara yang mendampingiku.

Subhanallah, aku sudah menjadi seorang suami. Aku menjadi kepala keluarga yang didampingi oleh Maisya yang aku dapatkan dengan “darah dan air mata”. Akhirnya kulalui rumah tangga ini dengan segala bunga rampainya sampai dikaruniai beberapa anak yang lucu-lucu. Semoga dapat aku lalui kehidupan ini dengan diiringi bimbingan dari yang Maha membolak balikkan hati, sehingga hatiku tetap teguh dengan agama-Nya.

Suami Maisya

Kasih Ibu

Kasih Ibu


Kisah ini kutulis untuk permohonan maafku pada ibu, orang yang telah mengandung, melahirkan , merawat, dan membesarkanku. Namun sepanjang umurku, aku selalu melukai, membuat malu, dan menyusahkannya dengan berbagai macam ulahku.

Ibu… Masih ingatkah saat aku membuatmu menangis malu, karena tetangga datang ke rumah marah-marah memakimu disebabkan aku mencuri mangga tetangga? Atau engkau yang selalu kulihat mengelus dada sabarmu karena kenakalanku pada orang-orang? Bibirmu tak pernah kering dari nasihat-nasihat untukku. Namun aku lebih memilih nafsu sebagai temanku.

Ibu… , aku masih ingat ketika siang itu, aku membuatmu tersungkur bersimpah darah. Karena jatuh saat mengejarku di tangga. Kandunganmu mengalami perdarahan hebat, hingga engkau harus berbaring di Rumah Sakit. Adik lahir premature dengan kondisi memprihatinkan. Untunglah, Ibu dan adik akhirnya selamat dan karena itu pula engkau memberi nama adik Dini karena lahir sebelum waktunya.

Ibu…, andai saja engkau dan adik tidak selamat, mungkin sekarang ini aku merasakan penyesalan yang sangat. Namu Allah sangat baik Bu, ia membiarkan memori itu terus berputar di kepalaku hingga aku menyadari semua masa lalu itu, mudah-mudahan belum terlambat ibu…

Ibu…, aku tak tahu mengapa hatimu begitu luas untuk memafkanku, padahal aku tak seperti kakak ataupun adik-adik yang lain. Mereka selalu penuh bakti dan penurut padamu, mereka juga sukses hingga bangku kuliah dan SMU. Sementara aku SMP saja tak lulus, aku sibuk nongkrong membuang waktu sia-sia dengan burung dara atau mabuk dan berjudi. Belum lagi, aku hobi mencuri uang dan perhiasan milikmu. Pernah juga aku mengambil kalung Dini saat tidur, hingga ketika bangun ia menangis meraung-raung. Tapi aku tak perduli, lama-lama kebiasaan itu merambat ke barang milik tetangga. Astaghfirullah…, malu rasanya mengingat semua itu.

Pada akhirnya aku sering berurusan dengan polisi, baik karena soal pencurian ataupun hutang. Dinginnya hotel prodeo membuatku kian kebal dan “pintar”, karena disana aku dapat “ilmu baru” soal kriminal. Bahkan yang konyol, aku justru senang karena hanya makan minum dan tidur disana. Sementara ibu yang sudah tengah baya rajin menjengukku dengan rantang makanan dan nasihat. Aku tak berpikir kala itu ia harus merogoh kocek tak sedikit untuk bisa menjengukku di penjara. Ah..Ibu mengapa aku begitu bodoh saat itu?

Setiap adzan tiba, sering kulihat kakimu ringan melangkah ke surau kampung. Tak kau hiraukan gunjingan orang tentangku. Engkau begitu sabar dan tak sungkan menyapa warga, meski yang kau dapat kadang hanya tatapan remeh. Wahai ibu…, aku tak tahu seberapa tegar hatimudengan tatapan itu, ataukah hatimu hancur berkeping?

Dan seperti biasa engkau setia membukakan pintu malam itu. Padahal engkau tengah sakit parah sejak dua pekan lalu. Terhuyung-huyung engkau kembalai ke kamarmu dengan digandeng kakakku, mereka melihat dengan pandangan marah ke arahku. Ah, bodo amat….., kudengar ibu menasehati kakak untuk tidak memarahiku.

“habis dia enggak tahu diri Bu, sampai kapan dia akan begitu”.

Ya, sampai kapan aku akan begini? Saat aku tengah bermain dengan pikiranku, tiba-tiba kudengar teriakan panik kakakku dari kamar Ibu, memanggil saudaraku yang lain. Ibu pingsan katanya, seumur-umur aku tak pernah melihat ibu pingsan, bahkan saat ditinggalkan Bapak selamanya. Ia terlihat kuat dan ikhlas, ibu mampu menahan tegak tubuhnya meski rasa sedih dan kehilangan meluluhkan sendi dan tak henti air mata berlinang.

Ibu pingsan, aku mendadak merasa cemas, tiba-tiba aku merasa takut kehilangannya. Ia satu-satunya orang yang mau menerimaku tanpa pernah mencela, tanpa keluh dan marah, selain bapak tentunya. Meski aku selalu melukai dan menyusahkannya, ia masih saja punya sisa ruang hati untuk memaafkanku. Ia selalu punya sabar untuk sikap burukku. Bila ibu tak ada, siapa lagi orang yang sudi menasihatiku? Tiba-tiba pula aku sangat merindukannya.

Tak dapat kutahan diri, saat kulihat ibu digotong saudara-saudaraku, aku menangis meraung-raung memanggilnya. Aku begitu takut tak melihatnya lagi, aku menangis diiringi pandangan heran seisi rumah…

Selang oksigen itu masih membantunya bernafas, saat aku berjanji berhenti dari semua perbuatan burukku. Entah Ibu mendengar atau tidak, yang kutahu tangan ibu tiba-tiba diatas kepalaku.

“Ibu tahu le…(panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa jawa)…., anak ibu pasti pulang mengisi hati ibu lagi”. Sejak itu aku berubah meski tak mudah, Alhamdulillah aku dipertemukan Allah dengan manhaj mulia ini di tengah taubatku. Kini, hanya satu keinginanku, menjaga hati ibu dengan bahagia di tengah usia senjanya. Cukup sudah aku membuatnya terluka, ya Allah semoga engkau menerima taubatku dan jagalah selalu ibu dan saudara-saudaraku dalam kasih sayangMu

Kisah Sabar Yang Paling Mengagumkan

Kisah Sabar Yang Paling Mengagumkan


Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.
Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta’ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta’ala .

Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: “Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati.”

Coba tebak, kira-kira apa jawaban ibu tersebut?

Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata: “Engkaulah penyebabnya!”
Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: “Alhamdulillah.” Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.

Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta’ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.
Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: “Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi.” Maka dia berkata: “Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi.”

Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Subhanaahu wa Ta’ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.
Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya. Maka sang ibu berkata: “Alhamdilillah.” Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Subhanaahu wa Ta’ala , dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.

Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: “Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh.” Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan: “Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia.”

Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata: “Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati.” Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: “Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah.” Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut: “Wanita itu tidak waras dan tidak sadar.”

Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa sallam yang indah lagi agung:
(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء) “Beruntunglah orang-orang yang asing.” Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.
Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: “Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat.” Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah: “Alhamdulillah.” Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.

Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..

Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: “Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat.” Diapun berkata: “Alhamdulillah.” Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya.
Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.

Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?
Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks? Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo’a, dan merendahkan diri kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala ?

Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?
Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Subhanaahu wa Ta’ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.

Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, Apa Yang Membuatku Menangis Bukanlah Ini, Yang Membuatku Menangis Adalah Apa Yang Terjadi Kemudian:

Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya: “Siapakah mereka?” Dia menjawab, “tidak mengenal mereka.”

Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.
Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata: “Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri.”

Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. Kukatakan kepadanya: “Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang subur dengan keimanan terhadap Allah Subhanaahu wa Ta’ala .”

Tahukah anda apa yang dia katakan?

Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.

Sang suami berkata: “Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar’i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo’akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang.”

Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: “Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu.” Maka kukatakan kepadanya: “Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu.” Kisah selesai.

Kukatakan:
Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Subhanaahu wa Ta’ala .

Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Nabi r bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَحُزْنٍ وَلاَ أَذىً وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا خَطاَيَاهُ
“Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah Subhanaahu wa Ta’ala akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. al-Bukhari (5/2137))
Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala , minta dan berdo’alah hanya kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.

Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Subhanaahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.
Mudah-mudahan Allah Subhanaahu wa Ta’ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do’a-do’a kalian.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ (١٢٦)
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS. Al-A’raf: 126) (AR)*

Dan Merekapun Menangis

Dan Merekapun Menangis


Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Rabb semesta alam sebagai mukjizat bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Isinya merupakan obat penawar bagi jiwa yang berada dalam kehampaan dan kegersangan. Dalam periode waktu yang relatif singkat Al-Qur’an telah mampu mengubah kehidupan orang arab jahiliyah kepada cahaya hidayah yang terang benderang dan menjadikannya kaum yang terhormat dan disegani.

Kandungan Al-Qur’an kemudian mampu menggerakkan generasi sesudahnya sehingga keimanan mereka kokoh dan Islam pun tersebar ke seantero jazirah Arab bahkan mampu menembus kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan Andalusia. Allah memfirmankan bahwa dalam Al-Qur’an memang terdapat sebab menuju kemuliaan,
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Qs. Al-Anbiyaa’ : 10).

Namun kini empat belas abad telah berlalu, Al-Qur’an telah banyak ditinggalkan, hanya menjadi hiasan dinding dan lemari serta sekadar dibaca tanpa diresapi maknanya dengan mentadabburinya. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian memberikan peringatan dalam firman-Nya,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadiid: 16).
Ayat ini bisa menjadi bahan instropeksi bagi kita yang kini lalai dan sebagai upaya memperbaiki kondisi hati yang belum juga tunduk ketika seruan Allah dikumandangkan. Mungkin hati kita memang telah menjadi sedemikian keras.

Pangkal Kebaikan hati
Untuk melunakkan dan melembutkan hati Allah memerintahkan untuk mentadabburi dan berupaya memahami kandungan Al-Quran dengan sungguh-sungguh dan melarang untuk berpaling darinya,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad: 24)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai sarana untuk tadabbur dan tadzakkur,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)

Dalam Madarij As-Salikin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa hal yang paling bermanfaat bagi seorang hamba dalam kehidupan dunia dan akhiratnya (untuk lebih mendekatkannya dengan keselamatan) adalah dengan ber-tadabbur pada Al-Qur’an, perenungan yang berkelanjutan, dan konsentrasi akan makna ayat-ayatnya. Menurut beliau sikap ini mampu membuat seorang hamba mengetahui berbagai kebaikan dan kejahatan serta aspek-aspeknya, metode untuk menempuh jalan kebaikan dan kejahatan tersebut, kausalitasnya, tujuan-tujuannya, buah hasilnya, dan nasib para pelakunya. “

Sementara dalam bukunya yang lain, Miftah Dar As-Sa’adah beliau mengatakan bahwa bertadabbur akan melahirkan cinta, rindu, rasa takut, rasa harap, inabah, tawakal, ridha, sikap penyerahan, syukur, sabar, dan berbagai kondisi psikologis lain yang menghidupkan dan menyempurnakan hati. Tadabbur juga dapat menjauhkan berbagai sifat dan perbuatan tercela yang menggerogoti hati.Membaca satu ayat dengan tafakkur dan tafahhum (kritis dan bersungguh-sungguh untuk mencari pemahaman makna Al-Qur’an), lanjut beliau, lebih baik daripada sekedar membaca satu kali khatam tanpa tadabbur dan tafahhum. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati dan lebih efektif dalam menumbuhkan iman dan kenikmatan membaca Al-Qur’an. Jadi, membaca Al-Qur’an dengan tafakkur adalah pangkal kebaikan hati.”

Keutamaan Menangis
Allah subhanahu wa ta’ala memuji makhluk-Nya yang paling mulia di dalam firman-Nya,
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam: 58)
Ibnu Sa’di berkata berkenaan dengan ayat di atas, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, maksudnya adalah mereka khudhu’ dan khusyu’ dengan ayat-ayat tersebut, karena menggoreskan iman, cinta dan takut di hati mereka, sehingga membuat mereka menangis, berserah diri dan sujud kepada Tuhan mereka.”

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai para ahli kitab yang shalih,
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS al Israa’: 107 � 109)

Menangis, menurut Al-Ghazali, disunahkan saat membaca Al-Qur’an. Cara untuk memaksakan tangisan adalah membayangkan hal-hal yang dapat menyebabkan kita menangis, yaitu dengan merenungi ancaman dan janji yang ada di dalam Al-Qur’an, kemudian merenungi kealpaan sikap kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasa sedih dan tangis hanya menghampiri hati seseorang yang bersih. Hilangnya kesedihan dan tangisan hendaknya membuat kita bersedih (dan menangis), karena hal tersebut merupakan tanda musibah terbesar yang telah menimpanya.”

Belajar dari Generasi Awal
Dalam sejarah kehidupan generasi awal Islam, banyak kita temui kisah-kisah tentang kelembutan hati dimana mereka sering menangis ketika membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Hati mereka begitu mudah tersentuh karena keimanan yang telah begitu kuat mengakar di dalam dada. Berikut ini beberapa kisah tentang figur-figur itu:

1. Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiallahu Anhu
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya bahwa ketika sakit Rasulullah shalallahu alaihi wa salam semakin keras, beliau ditanya tentang shalat. Lalu beliau menjawab, “Suruhlah Abu Bakar mengimami orang-orang.”.
Aisyah berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut. Bila dia membaca Al-Qur’an maka dia tidak kuasa menahan tangis.” Lalu Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata, “Suruhlah dia mengimami shalat.” Lalu Aisyah mengulangi perkataannya. Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam pun berkata, “Suruh dia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (seperti) pengikut Yusuf.”

2. Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu
Abdullah bin Syidad berkata, “Aku mendengar tangisan sedu sedan Umar saat aku di barisan belakang, yaitu ketika dia membaca, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku’.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Umar mengimami kami shalat Subuh, lalu dia membaca surat Yusuf pada rakaat pertama. Ketika sampai pada ayat, ‘Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)’ (QS Yusuf: 84) beliau menangis hingga berhenti lalu ruku’”

3. Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, “Abdurrahman bin Auf diberi makan malam saat dia berpuasa. Lalu dia membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala, dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan adzab yang pedih.’ (QS Al-Muzammil: 12-13)
Setelah itu dia terus-menerus menangis hingga makan malamnya dibereskan, sedangkan (siang harinya) dia benar-benar puasa.”

4. Aisyah Radhiallahu Anha
Diriwayatkan dari Qasim (keponakan Aisyah), ia berkata, “Apabila aku pergi pada pagi hari maka aku selalu memulai keberangkatanku dari rumah Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Pada suatu hari aku pergi dan ternyata dia sedang berdiri sambil membaca tasbih dan ayat,
‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.’ (Qs. Ath-Thuur: 27)
Dia berdoa, menangis, dan mengulang-ulang ayat tersebut. Lalu aku berdiri hingga aku jenuh berdiri. Lalu aku pergi ke pasar untuk mencari kebutuhanku. Ketika aku kembali, ternyata Aisyah Radhiallahu Anha masih berdiri seperti semula sambil melakukan shalat dan menangis.”

5. Abu Hurairah Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far berkata kepada kami tentang bacaan Abu Hurairah radhiallahu anhu pada ayat,
“Apabila matahari digulung.” (Qs At-Takwiir:1)
Beliau sangat tersayat hatinya ketika mendengar ayat tersebut, hingga terkadang menangis dengan ratapan.

6. Abdullah bin Rawahah Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, ia berkata, “Abdullah bin Rawahah menangis, lalu istrinya ikut menangis. Lalu dia bertanya kepada istrinya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Istrinya menjawab, ‘Aku melihatmu menangis maka aku pun ikut menangis.’ Dia kemudian berkata, ‘Aku teringat dengan ayat ini,
“Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu.” (Qs Maryam: 71).
Aku tahu bahwa aku pasti akan memasuki neraka, tetapi aku tidak tahu apakah aku akan selamat dari neraka.’

7. Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Qasim bin Abu Bazzah, ia berkata, “Aku diberitahu oleh orang yang mendengar Ibnu Umar radhiallahu anhu membaca ayat,
‘Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?’ (Qs. Al Muthaffifiin: 1-6)
Ibnu Umar lalu menangis hingga tersungkur, dan setelah itu ia enggan untuk membaca ayat tersebut.”

8. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata, “Aku menemani Ibnu Abbas radhiallahu anhu dari Mekah ke Madinah. Jika singgah di suatu tempat maka dia selalu bangun pada separuh malam.” Lalu Ayyub bertanya kepadanya, “Bagaimana bacaannya?” Abdullah menjawab,”Dia membaca,
‘Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.’ (Qs. Qaaf: 19)
Dia membacanya dengan tartil dan sering menangis terisak-isak.

9. Umar bin Abdul Aziz
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzaib, ia berkata, “Aku diberitahu oleh seseorang yang sempat menyaksikan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur Madinah, bahwa seorang laki-laki membacakan ayat ini kepadanya,
‘Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka disana mengharapkan kebinasaan. (Qs. Al-Furqaan: 13)
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis hingga tidak dapat mengendalikan tangisnya dan isakannya pun menjadi keras. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke rumah.”

10. Hasan Al-Bashri
Diriwayatkan dari Salam bin Abu Muthi’, ia berkata, “Hasan diberi segelas air untuk berbuka puasa. Ketika dia mendekatkan air itu ke mulutnya, dia menangis dan berkata, ‘Aku ingat harapan besar dari para penghuni neraka dan ucapan mereka, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Aku pun teringat jawabannya kepada mereka,
‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS Al-A’raaf: 50)

11. Abu Hanifah
Muhammad bin sama’ah meriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, dari Qasim bin Ma’an, bahwa Abu Hanifah bangun malam sambil mengulang-ulang firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Qs. Al-Qomar: 46).
Dia menangis dan tadharru’ (merendahkan diri) hingga Subuh.
Demikianlah kisah pribadi-pribadi itu, yang mencerminkan kondisi jiwa mereka yang takut akan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, kisah yang merupakan cerminan dari kejujuran hati yang dipenuhi cahaya keimanan. Semoga kita bisa menjadikannya sebagai teladan.

Setelah Gagal 2 Kali

Setelah Gagal 2 Kali


Menikah, siapa yang tak ingin? Apalagi setelah kukenal manhaj salaf. Rasanya tak ada lagi keinginan untuk menunda sunnah mulia itu, meski aku belum selesai kuliah. Makanya, saat ada teman taklim yang menawari nikah dengan seorang ikhwan, aku langsung setuju. Hatiku berbunga.

Satu pekan kemudian ikhwan itu datang untuk melamar. Kuhargai keseriusan sang ikhwan yang mau jauh-jauh keluar kota untuk menemui orang tuaku. Dengan jujur dan apa adanya, ia jelaskan siapa dirinya kepada orang tuaku, tanpa ada ynag ditutup-tutupi. Kedua orangtuaku menghargai sang ikhwan. Namun saat bapak bertanya di mana ia sekolah dulu, bapak menjadi kurang “sreg”. Dengan alasan aku belum selesai kuliah, bapak minta maaf belum mengijinkan aku menikah.

Ya, sang ikhwan memang hanya lulusan sekolah dasar. Meski menurutku tak jadi soal, bagi kedua orangtuaku hal itu menjadi nilai minus sang ikhwan. Padahal dari informasi yang kudapat meski Cuma lulus SD sang ikhwan pandai, wawasannya luas dan tak gagap iptek. Dia juga pintar bahasa arab dan inggris.

Secara ekonomi ia juga pria mapan dan mandiri. Tidak tergantung pada orang tua, membangun usaha dari nol hingga sebesar sekarang. Dan yang terpenting ia juga perhatian pada agama islam, dari situ aku yakin ia bisa membimbingku bila menikah. Qodarullah, takdir bicara lain. Meski sedih, aku menurut kehendak orang tuaku. Aku hanya pasrah pada Allah atas apa yang terjadi.

Semester akhir seorang akhwat (Nisa, sebut saja begitu) menawariku menikah dengan kakaknya. Dengan Bismillah, kusambut kembali tawaran itu. Apalagi kakaknya tersebut yang meminta tolong untuk dicarikan seorang akhwat. Ia seorang sarjana, dengan kriteria yang sedikit rumit menurutku. Tapi wajar saja bukan, jika seorang mencari mencari yang terbaik? Namun, sang ikhwan kurasakan tak serius. Dia seperti menarik ulur, tak segera mengatakan ya atau tidak. Aku mencoba berbaik sangka padanya.

Selang tiga hari, setelah dua pekan, nisa datang membawa pesan, bila kakaknya ingin bertemu kedua orangtuaku. Tapi kedua orangtuaku yang harus datang ke kost di kota tempat aku kuliah, tepatnya di kota ikhwan. Belum selesai keterjutku dengan sikap si ikhwan dengan permintaannya, Nisa menangis.

Dengan emosi dia memelukku, menangis minta maaf atas sikap kakaknya yang menurutnya keterlaluan dan tidak menghormati orang tuaku dan juga diriku. Ia memintaku untuk mundur dan memperdulikan lagi tawaran kakaknya. Ia juga sangat marah dengan sang kakak dan meresa malu. Alhamdulillah aku berhasil menenangkannya dan memastikan aku baik-baik saja. Ia mendoakanku mendapat ganti yang lebih baik dan selalu mendukungku. Hingga saat ini kami masih saling berhubungan dan menjadi sahabat karib. Bahkan ia menjadi seperti saudaraku sendiri.

Sepekan kemudian, Nisa meneleponku. Katanya, ia punya info seorang ikhwan. Nisa bilang insyaallah jauh lebih baik dari kakaknya yang mengecewakanku. Aku hanya tertawa dan mengucapkan terimakasih. Ia bilang akan datang esok hari dengan biodata ikhwan. Sebelum Nisa menutup teleponnya, aku juga bilang padanya bahwa aku mendapatkan tawaran dari ikhwan lain. Nisa bilang tak apa, bisa untuk pilihan dan bahan pertimbanganku.

Sesuai janji Nisa datang ke tempat kosku. Sebelum menyerahkan biodata yang dibawanya Nisa bilang bahwa ia ingin mencarikan jodoh untukku. Sebab menurutnya ia masih bersalah padaku atas ulah kakaknya dan ingin menebusnya. Padahal, jujur aku tak lagi mempersalahkan hal itu.

“ikhwannya insyaallah bagus agamanya, dia baik, sarjana, dan jadi guru di pondok sala… Soal fisik, insyaallah nggak mengecewakan, dia jago karate lho. Dia lagi skripsi sambil jadi guru di pondok. Prestasinya banyak … bla… bla…”

Kudengarkan penjelasan Nisa sambil senyum. Ah,.. Nisa, dia benar-benar lagi promosi dan begitu serius mencarikan jodoh untukku. Padahal ia tak seharusnya repot-repot mencarikan jodoh hingga seperti itu, informasinya komplit sedetail-detailnya. Sungguh kuakui, Nisa benar-benar sayang padaku, walhamdulillah.

Kubaca biodata ikhwan yang disodorkan Nisa, Subhanallah! Setelah kubaca, ikhwan itu ternyata sama dengan ikhwan yang biodatanya dibeikan seorang isteri ustadz tempat aku taklim. Sungguh, aku begitu takjub. Dua biodata satu orang yang sama!!! Subhanallah, mungkinkah ini jodohku? Dan kulihat matanya bersinar diiringi air mata yang mengambang dipelupuk.

Tak sampai sepekan, usai aku memberi jawaban”Ya”, ikhwan dan keluarganya datang kerumahku. Alhamdulillah keluargaku tak keberatan aku menikah, meski aku belum selesai kuliah, dengan syarat aku tetap harus menyelesaikan kuliah.

Dua pekan kemudian aku benar-benar menikah dengan pesta sederhana walau sebenarnya kedua orang tua kami ingin pesta digelar meriah. Maklum, kami sama-sama anak pertama. Sayang dihari bahagiaku Nisa tak hadir karena tempat yang jauh dan dia sakit. Namun ia mengucapkan selamat untukku lewat telepon. Kini aku telah memiliki seorang putri, Aisyah namanya. Aku hidup tenang dan bahagia bersama belahan jiwaku. Dan semua itu kudapat setelah dua kali kegagalan. Allah memberi yang terbaik untukku setelah aku lama menunggu. (Ummu Fatimah Daud)

Selamat Tinggal Rokok

Selamat Tinggal Rokok Aku pernah di undang di malam Ramadhan dua tahun lalu untuk menjadi pembicara dalam satu siaran live di salah satu siaran televisi. Siaran kala itu berkisar tentang ibadah pada bulan Ramadhan. Siaran itu dilakukan di Makah al-Mukaramah pada satu kamar di salah satu hotel yang bisa melongok diatas Masjidil al-Haram. Kala itu, kami berbicara tentang Ramadhan . Para pemirsa televisi bisa melihat dari sela-sela jendela kamar di belakang kami pemandangan orang-orang yang umrah dan thawaf secara langsung. Kala itu pemandangannya sungguh mengagumkan dan mengharukan, membuat pembucaraan pun semakin berkesan. Hingga pembawa acara menjadi lembut hatinya, dan menangis ditengah halaqah itu. Sungguh suasana itu adalah suasana keimanan, dan tidak merusak suasana itu kecuali salah satu kameramen. Dia memegang kamera dengan satu tangan dan tangan kedua memegang “Tuhan Sembilan Senti” menurut istilah penyair Taufik Ismail* (*tambahan dari redaksi), yaitu rokok. Seakan-akan tidak ada satu waktu yang tersia-siakan dari malam bulan Ramadahan kecuali dia kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok. Hal ini banyak menggangguku. Penghisap rokok itu benar-benar mencekikku, tetapi harus bersabar karena ini adalah siaran langsung, dan tidak ada alasan, kecuali terpaksa melaluinya. Berlalulah satu jam penuh dan berakhirlah kajian itu dengan salam. Kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya sembari dia mengucapkan terimakasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman tanganku dan kukatakan,”Anda juga, saya berterimakasih atas keikutsertaan Anda dalam menyuting acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat barangkali Anda mau menerimanya”. Dia pun menjawab,”Silahkan… silahkan”. Kukatakan,”Rokok dan siga…” (maksudku sigaret), namun dia memutus pembicaraanku seraya berkata,”Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak ada faedahnya wahai syaikh”. Kukatakan,”Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok itu haram, dan Allah berfirman…” Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi,”Wahai Syaikh, jangan menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah merook selama 40 tahun… rokok telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faidah… selain Anda lebih pandai lagi..!!” Kukatakan,”Apa yang ada faidahnya?” Diapun merasa tidak enak dariku lalu berkata,”Do’akanlah saya… do’akanlah saya.” Maka aku pun memegang tangannya seraya berkata,”Mari bersama saya…”. Kukatakan,”Mari kita melihat kepada ka’bah”. Maka kami pun berdiri disisi jendela yang bisa melongok di atas al-Haram. Dan ternyata setiap jengkal dipenuhi dengan manusia. Antara yang rukuk, sujud, yang sedang umroh, dan sedang menangis. Sungguh pemandangan yang sangat mengesankan. Kukatakan,”Apakah Anda melihat mereka?”. Dia menjawab,”Ya”. Kukatakan,”Mereka datang dari setiap yang putih, yang hitam… orang arab dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…” Dia menjawab,”Benar… benar…” Kukatakan,”Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia berikan kepada mereka?”. Dia menjawab,”Ya… tentu saja”. Kukatakan,”Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda… dan aminilah do’a saya”. Akupun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan,”Ya Allah, ampunilah dia…”. Dia berkata,”Aamiin”. Aku berdo’a,”Ya Allah, angkatlah derajatnya dan kumpulkanlah dia bersama orang-orang yang dikasihinya di dalam surga… ya Allah…”. Dan tak henti-hentinya aku berdo’a hingga hatinya lembut dan menangis… seraya mengulang-ulang,”Aamiin… aamiin…”. Tatkala aku ingin menutup do’a kukatakan,”Ya Allah, jika ia meninggalkan rokok, maka kabulkanlah doa ini, jika tidak, maka haramkan dia terkabulnya do’a ini”. Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan keluar dari kamar tersebut. Berbulan-bulan telah berlalu, akupun diundang lagi di studio televisi tersebut untuk melakukan siaran langsung. Saat aku masuk ke bangunan tersebut tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tampak taat beragama menemuiku, kemudian mengucapkan salam dengan hangat, lalu mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku untuk menciumnya, dan sungguh dia sangat terkesan. Kukatakan kepadanya,”Mudah-mudahan Allah mensyukuri dan kelembutan dan adab Anda… saya sungguh menghargai kecintaan Anda… akan tetapi maaf, saya belum mengenal Anda…” Maka dia berkata,”Apakah Anda masih ingat dengan kameramen yang telah Anda nasehati untuk meninggalkan rokok dua tahun yang lalu?” Kujawab,”Ya” Dia berkata,”Sayalah dia… demi Allah wahai syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah meletakkah rokok dimulutku sejak saat itu”. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin