Jumat, 14 Desember 2012

Kasih Ibu

Kasih Ibu


Kisah ini kutulis untuk permohonan maafku pada ibu, orang yang telah mengandung, melahirkan , merawat, dan membesarkanku. Namun sepanjang umurku, aku selalu melukai, membuat malu, dan menyusahkannya dengan berbagai macam ulahku.

Ibu… Masih ingatkah saat aku membuatmu menangis malu, karena tetangga datang ke rumah marah-marah memakimu disebabkan aku mencuri mangga tetangga? Atau engkau yang selalu kulihat mengelus dada sabarmu karena kenakalanku pada orang-orang? Bibirmu tak pernah kering dari nasihat-nasihat untukku. Namun aku lebih memilih nafsu sebagai temanku.

Ibu… , aku masih ingat ketika siang itu, aku membuatmu tersungkur bersimpah darah. Karena jatuh saat mengejarku di tangga. Kandunganmu mengalami perdarahan hebat, hingga engkau harus berbaring di Rumah Sakit. Adik lahir premature dengan kondisi memprihatinkan. Untunglah, Ibu dan adik akhirnya selamat dan karena itu pula engkau memberi nama adik Dini karena lahir sebelum waktunya.

Ibu…, andai saja engkau dan adik tidak selamat, mungkin sekarang ini aku merasakan penyesalan yang sangat. Namu Allah sangat baik Bu, ia membiarkan memori itu terus berputar di kepalaku hingga aku menyadari semua masa lalu itu, mudah-mudahan belum terlambat ibu…

Ibu…, aku tak tahu mengapa hatimu begitu luas untuk memafkanku, padahal aku tak seperti kakak ataupun adik-adik yang lain. Mereka selalu penuh bakti dan penurut padamu, mereka juga sukses hingga bangku kuliah dan SMU. Sementara aku SMP saja tak lulus, aku sibuk nongkrong membuang waktu sia-sia dengan burung dara atau mabuk dan berjudi. Belum lagi, aku hobi mencuri uang dan perhiasan milikmu. Pernah juga aku mengambil kalung Dini saat tidur, hingga ketika bangun ia menangis meraung-raung. Tapi aku tak perduli, lama-lama kebiasaan itu merambat ke barang milik tetangga. Astaghfirullah…, malu rasanya mengingat semua itu.

Pada akhirnya aku sering berurusan dengan polisi, baik karena soal pencurian ataupun hutang. Dinginnya hotel prodeo membuatku kian kebal dan “pintar”, karena disana aku dapat “ilmu baru” soal kriminal. Bahkan yang konyol, aku justru senang karena hanya makan minum dan tidur disana. Sementara ibu yang sudah tengah baya rajin menjengukku dengan rantang makanan dan nasihat. Aku tak berpikir kala itu ia harus merogoh kocek tak sedikit untuk bisa menjengukku di penjara. Ah..Ibu mengapa aku begitu bodoh saat itu?

Setiap adzan tiba, sering kulihat kakimu ringan melangkah ke surau kampung. Tak kau hiraukan gunjingan orang tentangku. Engkau begitu sabar dan tak sungkan menyapa warga, meski yang kau dapat kadang hanya tatapan remeh. Wahai ibu…, aku tak tahu seberapa tegar hatimudengan tatapan itu, ataukah hatimu hancur berkeping?

Dan seperti biasa engkau setia membukakan pintu malam itu. Padahal engkau tengah sakit parah sejak dua pekan lalu. Terhuyung-huyung engkau kembalai ke kamarmu dengan digandeng kakakku, mereka melihat dengan pandangan marah ke arahku. Ah, bodo amat….., kudengar ibu menasehati kakak untuk tidak memarahiku.

“habis dia enggak tahu diri Bu, sampai kapan dia akan begitu”.

Ya, sampai kapan aku akan begini? Saat aku tengah bermain dengan pikiranku, tiba-tiba kudengar teriakan panik kakakku dari kamar Ibu, memanggil saudaraku yang lain. Ibu pingsan katanya, seumur-umur aku tak pernah melihat ibu pingsan, bahkan saat ditinggalkan Bapak selamanya. Ia terlihat kuat dan ikhlas, ibu mampu menahan tegak tubuhnya meski rasa sedih dan kehilangan meluluhkan sendi dan tak henti air mata berlinang.

Ibu pingsan, aku mendadak merasa cemas, tiba-tiba aku merasa takut kehilangannya. Ia satu-satunya orang yang mau menerimaku tanpa pernah mencela, tanpa keluh dan marah, selain bapak tentunya. Meski aku selalu melukai dan menyusahkannya, ia masih saja punya sisa ruang hati untuk memaafkanku. Ia selalu punya sabar untuk sikap burukku. Bila ibu tak ada, siapa lagi orang yang sudi menasihatiku? Tiba-tiba pula aku sangat merindukannya.

Tak dapat kutahan diri, saat kulihat ibu digotong saudara-saudaraku, aku menangis meraung-raung memanggilnya. Aku begitu takut tak melihatnya lagi, aku menangis diiringi pandangan heran seisi rumah…

Selang oksigen itu masih membantunya bernafas, saat aku berjanji berhenti dari semua perbuatan burukku. Entah Ibu mendengar atau tidak, yang kutahu tangan ibu tiba-tiba diatas kepalaku.

“Ibu tahu le…(panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa jawa)…., anak ibu pasti pulang mengisi hati ibu lagi”. Sejak itu aku berubah meski tak mudah, Alhamdulillah aku dipertemukan Allah dengan manhaj mulia ini di tengah taubatku. Kini, hanya satu keinginanku, menjaga hati ibu dengan bahagia di tengah usia senjanya. Cukup sudah aku membuatnya terluka, ya Allah semoga engkau menerima taubatku dan jagalah selalu ibu dan saudara-saudaraku dalam kasih sayangMu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar