Jumat, 14 Desember 2012

Selamat Tinggal Rokok

Selamat Tinggal Rokok Aku pernah di undang di malam Ramadhan dua tahun lalu untuk menjadi pembicara dalam satu siaran live di salah satu siaran televisi. Siaran kala itu berkisar tentang ibadah pada bulan Ramadhan. Siaran itu dilakukan di Makah al-Mukaramah pada satu kamar di salah satu hotel yang bisa melongok diatas Masjidil al-Haram. Kala itu, kami berbicara tentang Ramadhan . Para pemirsa televisi bisa melihat dari sela-sela jendela kamar di belakang kami pemandangan orang-orang yang umrah dan thawaf secara langsung. Kala itu pemandangannya sungguh mengagumkan dan mengharukan, membuat pembucaraan pun semakin berkesan. Hingga pembawa acara menjadi lembut hatinya, dan menangis ditengah halaqah itu. Sungguh suasana itu adalah suasana keimanan, dan tidak merusak suasana itu kecuali salah satu kameramen. Dia memegang kamera dengan satu tangan dan tangan kedua memegang “Tuhan Sembilan Senti” menurut istilah penyair Taufik Ismail* (*tambahan dari redaksi), yaitu rokok. Seakan-akan tidak ada satu waktu yang tersia-siakan dari malam bulan Ramadahan kecuali dia kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok. Hal ini banyak menggangguku. Penghisap rokok itu benar-benar mencekikku, tetapi harus bersabar karena ini adalah siaran langsung, dan tidak ada alasan, kecuali terpaksa melaluinya. Berlalulah satu jam penuh dan berakhirlah kajian itu dengan salam. Kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya sembari dia mengucapkan terimakasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman tanganku dan kukatakan,”Anda juga, saya berterimakasih atas keikutsertaan Anda dalam menyuting acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat barangkali Anda mau menerimanya”. Dia pun menjawab,”Silahkan… silahkan”. Kukatakan,”Rokok dan siga…” (maksudku sigaret), namun dia memutus pembicaraanku seraya berkata,”Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak ada faedahnya wahai syaikh”. Kukatakan,”Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok itu haram, dan Allah berfirman…” Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi,”Wahai Syaikh, jangan menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah merook selama 40 tahun… rokok telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faidah… selain Anda lebih pandai lagi..!!” Kukatakan,”Apa yang ada faidahnya?” Diapun merasa tidak enak dariku lalu berkata,”Do’akanlah saya… do’akanlah saya.” Maka aku pun memegang tangannya seraya berkata,”Mari bersama saya…”. Kukatakan,”Mari kita melihat kepada ka’bah”. Maka kami pun berdiri disisi jendela yang bisa melongok di atas al-Haram. Dan ternyata setiap jengkal dipenuhi dengan manusia. Antara yang rukuk, sujud, yang sedang umroh, dan sedang menangis. Sungguh pemandangan yang sangat mengesankan. Kukatakan,”Apakah Anda melihat mereka?”. Dia menjawab,”Ya”. Kukatakan,”Mereka datang dari setiap yang putih, yang hitam… orang arab dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…” Dia menjawab,”Benar… benar…” Kukatakan,”Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia berikan kepada mereka?”. Dia menjawab,”Ya… tentu saja”. Kukatakan,”Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda… dan aminilah do’a saya”. Akupun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan,”Ya Allah, ampunilah dia…”. Dia berkata,”Aamiin”. Aku berdo’a,”Ya Allah, angkatlah derajatnya dan kumpulkanlah dia bersama orang-orang yang dikasihinya di dalam surga… ya Allah…”. Dan tak henti-hentinya aku berdo’a hingga hatinya lembut dan menangis… seraya mengulang-ulang,”Aamiin… aamiin…”. Tatkala aku ingin menutup do’a kukatakan,”Ya Allah, jika ia meninggalkan rokok, maka kabulkanlah doa ini, jika tidak, maka haramkan dia terkabulnya do’a ini”. Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan keluar dari kamar tersebut. Berbulan-bulan telah berlalu, akupun diundang lagi di studio televisi tersebut untuk melakukan siaran langsung. Saat aku masuk ke bangunan tersebut tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tampak taat beragama menemuiku, kemudian mengucapkan salam dengan hangat, lalu mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku untuk menciumnya, dan sungguh dia sangat terkesan. Kukatakan kepadanya,”Mudah-mudahan Allah mensyukuri dan kelembutan dan adab Anda… saya sungguh menghargai kecintaan Anda… akan tetapi maaf, saya belum mengenal Anda…” Maka dia berkata,”Apakah Anda masih ingat dengan kameramen yang telah Anda nasehati untuk meninggalkan rokok dua tahun yang lalu?” Kujawab,”Ya” Dia berkata,”Sayalah dia… demi Allah wahai syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah meletakkah rokok dimulutku sejak saat itu”. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar