Selasa, 18 Januari 2011

Antara Harga yang Harus Dibayar dan Totalitas Diri

Berapa banyak hal yang sudah Anda canangkan dalam hidup? Saya memiliki banyak hal serupa itu. Berapa banyak hal yang sudah berhasil Anda capai dalam hidup? Saya memiliki banyak hal yang belum berhasil menyentuh pencapaian serupa itu. Kadang saya menuntut tanggungjawab nasib atas begitu banyaknya hal yang tidak berhasil saya capai.
Namun, ketika secara sungguh-sungguh menengok ke belakang, ternyata kegagalan saya lebih banyak disebabkan karena saya sendiri. Bukan oleh nasib saya. Ada yang karena saya tidak tahu caranya. Atau saya salah melakukannya. Atau saya semberono dalam merencanakannya. Dan yang lebih sering lagi karena saya tidak benar-benar berani membayar harganya dengan totalitas diri saya sendiri. Saya mencanangkan cita-cita besar yang tentunya menuntut harga yang besar untuk dibayar. Sebuah harga yang hanya bisa terbayar dengan totalitas. Apakah Anda juga demikian?
Beberapa pekan silam saya bertemu dengan teman-teman lama dalam sebuah acara temu alumni. Rupanya teman-teman saya banyak yang mengira saya masih bekerja sebagai seorang professional untuk sebuah perusahaan multinasional. Atas usulan salah seorang senior saya, maka akhirnya saya mengumumkan bahwa saya sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu.
Secara karir dan material saya mendapatkan banyak manfaat dari perusahaan itu. Mungkin lebih banyak dari kebanyakan teman yang dulu sama-sama masuk ke sana pada periode yang sama. Tahun 2004, saya mendapatkan ”William E. Upjohn Award” dari kantor pusat kami di US. Saya tidak tahu apakah ada orang Indonesia lain yang pernah mendapatkan award itu sebelumnya. Tidak terlalu signifikan sih, tapi lumayanlah bisa menempatkan nama kita dibawah radar talent pool head office untuk peluang international career di masa depan.
Posisi terakhir saya Strategic Planning Head dimana sebagian besar waktu dan energi saya dialokasikan untuk membantu President Director. Basically, ‘hampir’ atau kebanyakan materi presentasi beliau di local, regional dan international ‘mampir’ di meja saya. Tidak berarti semua saya yang mengerjakan, karena itu adalah kerja team dari semua divisi. None of us as strong as all of us.
Akhir tahun 2008, rancangan proposal kami untuk mendirikan lini bisnis baru disetujui NYHQ, dan usulan membuat satu divisi baru juga di approve. Saya mempunyai peluang/pilihan untuk menangani salah satu diantara kedua hal itu. Namun, hati saya mengajak untuk mengambil pilihan ketiga, yaitu; melakukan sesuatu yang sejak jaman dahulu kala saya inginkan. Menjadi Trainer dan Public Speaker.
Saya dimarahi banyak orang, termasuk mantan Pres Dir kami yang mendapatkan tugas baru di negara lain sekitar 3 bulan sebelum saya resign. Namun waktu itu saya sudah bulat hati. Apa lagi istri saya yang sudah ‘dilobby’ selama bertahun-tahun menyetujui kenekatan saya ‘dengan beberapa syarat‘. Saya laa haula. Saya juga laa quwwata. Tapi saya yakin Tuhan akan menolong saya. Maka tanggal 16 Januari 2009 saya resmi mengakhiri karir saya di perusahaan hebat itu.
Itu juga berarti saya harus mengakhiri semua ‘kenikmatan hidup’ yang telah selama bertahun-tahun memanjakan kami. Juga ‘keglamoran’ yang sebenarnya sangat saya sukai. Tapi, saya menginginkan ‘lebih’ dari itu, yang saya percaya tidak akan saya temukan jika bekerja disana atau di perusahaan kelas dunia manapun. Bukan karena perusahaan-perusahaan itu kurang baik. Namun karena saya sendiri yang menuntut lebih banyak untuk hidup saya.
Bagi saya pribadi perusahaan itu adalah one of great companies to work for. Terutama untuk ‘pertumbuhan pribadi saya’ yang terus dipacu untuk mencapai puncak kapasitas diri. Namun, saya merasa belum cukup untuk mendapatkan apa yang ’sesungguhnya’ saya inginkan.
Memang sebenarnya saya memiliki pilihan lain, yaitu; menjadi karyawan sambil nyambi jadi trainer. Tapi sangat sulit bagi saya untuk melakukan hal itu meskipun dalam status cuti. Sebab, saya tidak mungkin bisa berbicara tentang ‘profesionalisme kerja’ kepada para trainee sementara saat saya mengatakannya saya sedang mengambil cuti. Padahal boleh jadi pada saat itu perusahaan tempat saya bekerja sedang berjibaku untuk sesuatu yang seharusnya menjadi tanggungjawab saya.
Ini bukan soal salah dan benar, melainkan soal ‘value pribadi’. Jika saya menjadi trainer technical, misalnya; bagaimana cara mengoperasikan mesin pemintal benang, atau bagaimana cara mengelas pipa bawah laut, bisa jadi ‘gaya 2 kaki’ seperti itu bisa dilakukan. Tapi, saya memilih untuk menjadi trainer tentang ‘sistem nilai’. Maka saya ingin memastikan bahwa apa yang saya share kepada trainee saya adalah ‘apa yang saya lakukan’, bukan ‘apa yang seharusnya mereka lakukan’.
Saya memulai ‘pekerjaan sendiri’. Tidak ada modal kapital yang secara rasional bakal bisa ‘meningkatkan kualitas hidup kami’, atau sekedar ‘menyamai apa yang selama ini pernah kami dapatkan’. Atau bahkan untuk sekedar ‘menyelamatkan’ hidup kami. Kami ini ‘single gardan’. Jika saya gagal, istri dan anak-anak saya mungkin tidak bisa makan. Tapi dengan begitu justru saat saya berdoa bisa lebih khusuk daripada sebelumnya.
Alhamdulillah, sampai hari ini saya masih bisa bertahan. Tidak terlalu buruk untuk ukuran seorang pemula yang bermodal utama kenekatan. Meski masih sering kalah oleh lembaga training besar atau para trainer senior. Lagi pula, saya meyakini benar bahwa hidup bukanlah soal kalah atau menang. Mungkin jika sekarang saya mengalami keadaan ‘seolah kalah’, maka suatu saat nanti saya bisa menemukan banyak hikmah.
Perusahaan-perusahaan sekarang menghadapi banyak tantangan. Misalnya, bagaimana meningkatkan profesionalisme kerja karyawan, bagaimana membangun kegigihan dan semangat pantang menyerah para pegawai, bagaimana membangun integrasi operasional dan aliansi antar departemen, bagaimana membangun kepemimpinan efektif dan sebagainya. Di sisi lain, ada banyak program pelatihan yang ditawarkan namun kebanyakan sangat baku atau generik. Atau bahkan sekedar copy paste. Saya melihat ini sebagai peluang bagi trainer-trainer yang bersedia mendedikasikan diri kepada sesuatu yang memberikan nilai unik. Menggunakan daya pikir dan pengalamannya pribadi.
Sehingga, meskipun pakem managemen itu sama; namun warnanya pasti menjadi berbeda dengan sentuhan pribadinya. Atau, meskipun teori kepemimpinan itu relatif tidak berubah. Namun, saya meyakini kalau ada hal-hal pribadi yang bisa mengubah teori dan texbook menjadi sesuatu yang lebih aktual. Saya melihat banyak trainer hebat seperti itu. Dan saya ingin mengikuti jejak mereka. Maka meski tertatih, saya terus berlatih agar tertular kecanggihan mereka.
Ijinkan saya menceritakan tentang pengalaman mendapatkan ‘order training’ pertama saya. Sebuah perusahaan Jerman yang dipimpin oleh Pres Dir expat dari Jerman. Beliau gundah karena HR Head-nya merekomendasikan nama saya untuk melakukan training padahal CV saya ‘masih kosong’ (maklum, itu akan menjadi order pertama saya…..). Bahkan saya sendiri tidak mengenal HR Head tersebut sebelumnya. Wajar jika ada yang mempertanyakan dasarnya apa beliau memilih saya? “I wonder why did my people reccommend you……” Saya menjawab pertanyaan beliau begini;”You don’t pay, if you are not satisfied….”
Akhirnya saya mendapatkan order itu. ‘Kontrak kerja’ pertama yang saya tanda tangani. Sesi training yang harus dibawakan dengan bahasa Inggris karena diantara peserta ada 5-6 orang expatriate ikut dalam kelas kami. Pak Presiden Komisaris juga hadir dari awal sampai akhir. Beliau orang Indonesia. Setelah sesi training itu selesai, Pak Pres Dir menyalami saya. Ngobrol sebentar, lalu beliau meminta saya untuk memberikan training bagi 2 group lainnya di perusahaan itu.
Anda mungkin mengira saya bisa membawakan sesi training itu karena saya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Keliru. Bahkan, saya salah menggunakan grammar ketika pertemuan pertama saya dengan Pak Pres Dir. Yang sebetulnya saya ucapkan adalah; “You dont’ pay, if you don’t satisfy”. Saya baru menyadari kalau grammar saya salah setelah sharing kepada teman-teman alumni tentang pengalaman saya pindah kuadran. Ada sahabat saya yang bahasa Inggrisnya bagus sekali memberitahu saya yang seharusnya. Bayangkan, dalam keadaan serba terbatas itu saja saya masih ’selamat’ dari kemungkinan gagal.
Tuhan tahu benar jika saya akan langsung jatuh tersungkur hingga mungkin tidak mampu bangkit lagi kalau pada order pertama itu saya gagal. Tuhan menolong saya. Bukan hanya sekedar memberikan order pertama yang akan menjadi ’isi’ pada CV saya. Melainkan ’menyelamatkan’ saya dari kegagalan fatal. Semoga hal itu menjadi pertanda bahwa Tuhan mendukung apa yang saya cita-citakan.
Saya terkesan dengan semangat sahabat-sahabat saya yang begitu gigih memperjuangkan mimpi-mimpinya. Tentu tidak mudah bagi mereka yang tengah menduduki puncak kenikmatan untuk menceburkan diri kedalam gelombang lautan perjuangan yang penuh dengan ketidakpastian. Jika Anda termasuk orang-orang seperti mereka, maka ketahuilah bahwa; saya bersama Anda. Semoga jalan mendaki yang kini Anda lalui akan berbuah manis menjadi senyuman yang indah di kemudian hari. Jika kita sudah menunjukkan totalitas diri atas apa yang sudah kita canangkan, semoga Tuhan berkenan mengijinkan alam untuk mendukung. Sehingga cepat atau lambat totalitas yang kita berikan bisa menutupi harga yang harus kita bayar. Setelah semuanya terbayar lunas, semoga kiranya kita masih memiliki sisa-sisa tenaga untuk mencapai BEP. Setelah itu, barulah kita mendapatkan laba yang sepadan.
Satu hal yang ingin saya himbau kepada teman-teman seperjuangan. Mari membebaskan diri dari anggapan bahwa pilihan hidup kita lebih baik daripada teman-teman yang memilih untuk terus menjadi professional. Sama sekali tidak. Sebab di mata Tuhan, nilai kita tidak ditentukan oleh status pekerjaan.
Melainkan oleh ketulusan kita untuk mensyukuri seluruh potensi diri yang telah diberikan-Nya. Dalam bentuk kesediaan untuk mendayagunakannya dalam apapun pilihan hidup yang kita buat. Dan jika kita bersedia menjalaninya dengan totalitas diri, semoga Tuhan berkenan mengijinkan kita untuk mendapatkan imbalannya. Langsung dari tangan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar