Rabu, 19 Januari 2011

Surat Terindah

Kepada yang tercinta, Ibuku yang kusayang.


Segala puji bagi Allah… yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.
Shalawat serta salam hamba (yang lemah ini) panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu,
Aku terima suratmu yang kau tulis dengan tetesan air mata dan duka.
Aku telah membaca semuanya. Tidak ada satu hurufpun yang aku sisakan.

Tapi tahukah kau, wahai Ibu ? bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya,
semenjak sholat isya, aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yang kau tuliskan untukku, dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam berkokok, setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan.

Sebenarnya, surat yang kau tulis tersebut, jika ditaruhkan diatas batu tentu ia akan pecah, jika kau letakkan diatas daun yang hijau tentu dia akan kering.

Sebenarnya, surat yang kau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam.
Sebenarnya, wahai Ibu, suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan, yang jika dipecutkan ke pohon yang besar dia akan rebah dan terbakar.

Ibu,
Suratmu bagaikan awan kaum Tsamud, yang datang berarak dan telah siap selalu dimuntahkan kepadaku.

Ibu,
Aku telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti. Bagaimana tidak, jika surat itu ditulis oleh seorang yang bukan Ibu dan bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yang paling bebal untuk menangis sejadi-jadinya. Bagaimana kiranya, jika yang menulis itu adalah Ibuku sendiri, dan surat itu ditujukan untukku sendiri.

Sungguh aku sering membaca kisah sedih. Tidak terasa bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata. Bagaimana pula dengan surat yang kau tulis itu ? bukan cerita yang kau karang, atau sebuah drama yang kau perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yang kau rasakan.

Ibu,
Sungguh berat cobaanmu, sungguh malang penderitaanmu, semua yang kau telah sebutkan benar adanya.

Ibu,
Aku masih ingat ketika kau ditinggalkan Ayah pada masa kau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan.

Dengan jalan berat kau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil kau membisikkan kepada penjual bahwa apa yang kau ambil tersebut adalah hutang, hutang yang kau sendiri tidak tahu kapan kau akan dapat melunasinya.

Ibu,
Aku masih ingat ketika kami (anak-anakmu) menangis untuk dibuatkan makanan, kau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama kau jemur dan keringkan.
Tidak jarang pula kau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera.
Aku masih ingat, kau sengaja ambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak, ketika kau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu,
Maafkanlah anakmu ini.
Aku tahu bahwa semenjak kau gadis, sebagaimana yang diceritakan oleh nenek sampai kau telah tua seperti sekarang ini, kau belum pernah mengecap kebahagiaan.

Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu.
Belum pernah aku melihat kau tertawa bahagia, kecuali ketika kami (anak-anakmu) datang ziarah kepadamu. Selain dari itu, tidak ada kebahagiaan, semua hidupmu adalah perjuangan, semua hari-harimu adalah pengorbanan.

Ibu,
Maafkan anakmu ini.
Semenjak kau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang telah kau puji sifat dan akhlaknya, yang kau telah sanjung pula suku dan negerinya, semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu.

Wahai Ibu,
Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi kau sebagai Ibuku.
Senyuman dan sapaannya telah melupakanku dengan himbauanmu.

Ibu,
Aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena kewajibannya untuk menunaikan tanggung jawabnya sebagai istri. Aku berharap pada permasalahan ini, kau tidak membawa-bawa namanya, dan mengkaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya, istri yang selalu menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua.

Ibu,
Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan.

Maafkan aku Ibu,
Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku (anakmu ini). Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang aku alami, perubahan suasana setelah kau dan aku berpisah, tidak satu atap lagi.

Ibu,
Perkawinanku membuatku masuk ke alam dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah aku kenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anak-anakku.
Bagaimana tidak, istri yang baik, anak-anak yang lucu-lucu.

Maafkan aku Ibu,
Maafkan aku, anakmu,
Aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang yang penting bagiku, yang penting bagiku adalah keadaan mereka (anak-anak dan istriku).

Ibu,
Maafkan aku, anakmu,
Ampunkan aku, anakmu
Aku telah lalai, aku telah alpa, aku telah lupa, aku telah menyia-nyiakanmu.

Ibu,
Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya.
Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan, sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya.
Itulah yang terjadi pada diriku.

Wahai Ibu,
Aku pasti akan gila ketika melihat anakku sakit, Aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare, Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu wahai Ibu
Itu sulit aku rasakan, jika seandainya hal itu terjadi pada Bunda, dan pada Ayah.

Ibu…
Sulit aku merasakan perasaanmu.
Kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah kau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayahmu, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti. Karena selama ini hal itu tidak pernah kau ungkapkan, semuanya kau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat yang kau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, wahai Ibu. Bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anak laki-lakinya telah menikah dengan seorang wanita, wanita yang telah mendapat keberuntungan.

Bagaimana tidak, dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadinya dan matang ekonominya, dari seorang Ibu yang telah letih membesarkannya. Dari hidup Ibu itulah ia dapatkan kematangan jiwa, dan dari uang Ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang, dengan ikhlas ia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut perhatian seorang laki-laki. Dia sebagai anak dari ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.

Ibuku sayang,
Maafkan aku, ampunkan diriku, satu tetesan air matamu adalah lautan api neraka bagiku. Janganlah kau menangis lagi, janganlah kau berduka lagi, karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka. Aku takut Ibu..!!

Kalau itu pula yang akan kuperoleh, kalau neraka pula yang akan aku dapatkan, ijinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, hanya demi untuk dapat menyapu air matamu.

Kalau kau masih akan murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah kau, ingin berbuat apa kepadaku.

Sungguh Ibu, dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka.
Sekalipun aku memiliki kekuasaan Firaun, kekayaan Karun dan keahlian Haman, niscaya aku tidak akan tukar dengan kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat. Siapa pula yang tahan dengan azab neraka,
Wahai Ibu, maafkan aku anakmu, wahai Ibu.. !!

Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa kau belum mau mengangkatnya ke langit, bahwa kau belum mau berdo’a kepada Allah akan kedurhakaanku, maka, ampun, wahai Ibu.. !!

Kalaulah itu yang terjadi, dan do’a itu tersampaikan ke langit, salah pula ucapan lisanmu, apalah jadinya nanti diriku,apalah jadinya nanti diriku.
Tentu aku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir. Apalah gunanya kemegahan, sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula.

Wahai Ibu,
Kalaulah do’amu terucap atasku, maka tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.

Ibu,
Dalam sepanjang sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia setelah terkena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasibnya di akherat, tentu ia lebih sengsara.

Ibu,
Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.

Ibu,
Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku. setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali. Tiap kali aku lengah darimu akan kutalqinkan diriku dengannya. Akan kusimpan dalam lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku. Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa Ayah mereka dahulu pernah lalai di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran. Ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Ibu,
Tua, Kau berbicara tentang tua, wahai Ibu..? Siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Ibu ?

Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi. Suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar, dan diperebutkan oleh burung-burung kecil.

Singa, si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk yang akan dipertanggung jawabkan.

Ibu,
Do’akan anakmu ini, agar menjadi anak yang berbakti kepadamu, di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit munajatmu untukku, agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.

Ibu,
Sesampainya suratku ini, insya Allah tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu. Setelah ini tidak ada lagi kejauhan antara aku denganmu.

Bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, senyumanmu adalah senyumanku dan tangismu adalah tangisku.

Aku berjanji, untuk selalu berbakti kepadamu untuk selamanya, dan aku berharap agar aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih bisa berkedip. Maka bahagiakanlah dirimu. Buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum, Ini kami, Aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.

Salam sayang selalu dari anakmu yang durhaka.
cip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar