Selasa, 18 Januari 2011

Pondasi Kokoh Tak Sekadar Kuat

Saat ini kebetulan saya sedang membangun sebuah rumah tinggal. Dalam proses itu saya memerhatikan, ada satu hal sangat penting yang jadi perhatian sang mandor. Ia sangat peduli dengan fondasi cor yang dibuatnya. Kurang padat sedikit atau saat komposisinya kurang mantap menurut pandangannya, ia akan segera menegur tukang yang mengerjakan fondasi. Sebab, menurut dia fondasi haruslah kokoh, sangat kokoh malahan. Dengan begitu, jika kemudian bangunan menjulang ke atas, fondasi ini akan menjadi penopang yang bisa membuat bangunan bertahan sampai lama. Ia menyebut bangunan-bangunan tua peninggalan masa Belanda, selain temboknya yang tebal, fondasinya juga sangat kokoh menghujam ke dalam tanah.
Penuturan sang mandor mengingatkan saya pada sebuah kalimat yang sering disebut seorang teman, “Kalau mau jadi bos, mau jadi pimpinan, mau jadi pengusaha, fondasinya harus kuat dulu. Sebab, kalau yang didapat hanya secara instan, biasanya kekuatan saat kita di puncak itu sangat mudah tergoyang oleh angin kehidupan.”
Cukup lama saya merenungi ucapan rekan tersebut. Ternyata, hal tersebut saya temui ketika saya membuka usaha. Saat usaha belum kokoh fondasinya, sesukses apa pun, ternyata sulit mempertahankannya. Namun, jika fondasi usahanya sudah cukup kokoh dan tertata dengan rapi, maka goncangan seberat apa pun, ternyata bisa diselesaikan dengan cara yang elegan dan mampu memuaskan banyak pihak.
Lantas, fondasi yang kokoh untuk berbisnis itu apa saja? Pertemanan, kepercayaan, kerja keras, atau hal lainnya? Berkaca dari pengalaman—baik pribadi dan orang lain—ternyata masing-masing orang punya “fondasi” masing-masing. Namun, salah satu yang paling sering disebut—dan saya alami juga—adalah dua hal, yakni soal kepercayaan dan komunikasi.
Kepercayaan
Bicara tentang soal kepercayaan, sebenarnya seperti membicarakan sesuatu yang mudah diomongkan namun kadang sulit untuk dilakukan. Betapa tidak, sebab kadang dalam hati ini selalu muncul rasa curiga, ingin tahu urusan orang, dan berbagai hal lainnya yang kemudian berujung pangkal pada soal kepercayaan ini.
Dalam beberapa kasus, kadang saat kita mencoba memercayakan sebuah pekerjaan kepada orang lain, hati kecil sering bertanya, apa dia mampu ya? Bagaimana kualitas kerjanya nanti? Bagaimana jika ia tidak bisa meng-handle masalah? Bagaimana jika ini, bagaimana jika itu? Ibarat sebuah pepatah: dilepas kepalanya, dipegang ekornya. Karena hati kecil ini sering muncul rasa tidak percaya, maka kemudian pikiran malah serasa terbebani. Akibatnya, seolah-olah kerja jadi tidak pernah maksimal. Itu kadang terjadi jika kita punya anak buah atau rekan kerja yang mungkin—kita merasa—levelnya masih di bawah kita, baik level kemampuan atau bahkan usia. Maka, tak heran jika kemudian muncul iklan bertajuk: “Yang muda, yang tak dipercaya.”
Soal kepercayaan ini juga yang sering mengganggu kita saat membentuk sebuah usaha bersama-sama dengan beberapa rekanan. Kadang, meski rekanan itu seorang sahabat sekalipun, unsur rasa kepercayaan ini seringkali terasa mengganggu. Apalagi, jika sebuah usaha tiba-tiba menjadi besar dan mulai kebanjiran order. Banyak kasus yang menunjukkan jika usaha masih kecil sepertinya tenang-tenang saja, namun begitu menjadi besar malah kemudian terjadi perpecahan. Masalah ini biasanya terjadi karena masalah kepercayaan. Apalagi, kalau sudah menyangkut masalah uang besar.
Untuk masalah kepercayaan, satu hal yang kemudian saya praktikkan. Mungkin, bagi banyak orang kadang hal ini terasa “kejam”, namun memang harus dilakukan jika tidak ingin fondasi kepercayaan yang dibangun menjadi terpecah di tengah jalan.
Buat kontrak hitam di atas putih, kalau perlu bermaterai yang menunjukkan soal wewenang, tugas, dan tanggung jawab masing-masing pihak. Kadang hal ini memang terasa memberatkan dan sepertinya terlalu menganggap seseorang seperti “orang lain”. Apalagi, kalau sudah bekerja sama dengan orang yang sudah sangat kita kenal. Hal seperti ini kadang dianggap terkesan meremehkan. Tapi, dari berbagai pengalaman, hal ini harus dilakukan. Setidaknya, jikalau tidak ada kontrak tertulis, harus ada kesepakatan yang mengikat sehingga jika suatu ketika terjadi hal yang kurang mengenakkan, maka kita punya hal yang mengatur kejelasan hubungan antar rekanan bisnis. Jika di awal mungkin terasa kurang memberi kenyamanan, tapi, jika sudah terbiasa hal ini akan justru akan meningkatkan rasa kepercayaan.
Atur dan buat sistematisasi serta ketentuan yang jelas dari awal. Misalnya, jika ada untung dan rugi, siapa yang bertugas kerja dan siapa yang sekadar jadi investor. Bahkan, kalaupun dalam sebuah usaha keluarga, jika tak ada aturan yang jelas, kadang masalah rumah akan terbawa-bawa dan juga sebaliknya, sehingga tidak akan memunculkan rasa nyaman. Dengan mengatur lebih jelas dan ketat sejak awal membentuk usaha, soal kepercayaan bisa diatasi. Dengan begitu diharapkan hati ini menjadi lebih tenang dan tenteram saat menjalani bisnis.
Komunikasi
Hal ini sepertinya sepele. Namun, jika kita tak memberi perhatian untuk satu masalah ini, biasanya akan banyak kerikil-kerikil kecil yang bisa jadi batu besar berguguran. Akibat kurang intensifnya komunikasi, seseorang atau satu tim dalam sebuah perusahaan, bisa berjalan tak karuan. Karena itu, saya memasukkan unsur komunikasi sebagai salah satu fondasi utama setiap kali mendirikan usaha atau menjalankan sebuah organisasi.
Dengan komunikasi yang terjaga, baik melalui tatap muka, telepon, SMS, atau media lainnya, fondasi kita akan makin kokoh. Namun, itu saja belum cukup. Komunikasi yang utama sebenarnya yang paling penting adalah unsur keterbukaan dan kesalingpengertian.
Keterbukaan. Masalah keterbukaan dalam berkomunikasi sebenarnya ujung-ujungnya akan bermuara pada masalah kepercayaan. Dalam hal ini, bukan berarti kita harus terbuka tanpa tedeng aling-aling. Tapi, yang tepat adalah menempatkan semua informasi pada waktu dan kondisi yang tepat. Misalnya, kalau ada masalah keuangan yang menyangkut gaji. Biasanya, karena perusahaan masih kecil, atau karena saling kenal dekat, gaji terlambat dianggap sesuatu yang sangat bisa dimaklumi. Padahal, gaji di manapun jika terlambat, pasti akan dijadikan bahan omelan. Jadi, kalaupun harus terlambat, komunikasikan dengan jelas apa penyebabnya sehingga tak kan ada omongan tak enak di belakang kita.
Kesalingpengertian. Kadang, sebuah pesan saat disampaikan, bisa dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing orang. Karena itu, pastikan jika ingin menyampaikan sesuatu, haruslah sejelas mungkin sehingga dipahami oleh semua orang. Dengan cara ini, kemungkinan miskomunikasi bisa diminimalkan.
Tentu, fondasi masing-masing orang dalam menjalankan usaha bermacam-macam. Namun, dengan adanya unsur kepercayaan dan komunikasi yang terpelihara dengan baik, biasanya usaha usaha bisa berdiri lebih kokoh. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar